Kamisan Yusuf-Randy: Merawat Api Kemanusiaan
4 min readPenulis: Jurnalis Supi | Editor: Kp
Suarapinggiran.online, Kendari – Puluhan massa menggelar aksi kamisan di depan kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) pada Kamis (05/11/2020) sore.
Massa yang terorganisasi dalam Aliansi Mahasiswa Sedarah (AMS) atau September Berdarah itu membentangkan kertas bertuliskan di antaranya: “Kami menolak lupa tragedi 26 September 2019”.
Aksi kamisan itu merupakan refleksi telah sampai di mana kasus penembakan Randy dan Yusuf berjalan, selain tentu juga untuk memperjelas kembali terutama ingatan masyarakat Sultra bahwa ada yang belum selesai; bahwa ada patahan keadilan yang telah terputus lama.
Untuk diketahui, aksi kamisan ini telah memasuki kali ke-9, setidaknya menurut hitungan Rahman Paramai, salah satu massa dari AMS sekaligus Kordinator Lapangan.
“Kami kemah di sini (sekitaran Polda) selama empat puluh lima hari. Menjelang satu atau dua pekan berjalan, kami kemudian memutuskan untuk mengadakan sejenis kegiatan refleksi. Dari situ aksi kamisan ini lahir. Selain kamisan, beberapa kali juga kami mengadakan dialog terbuka, mengundang akademisi hukum dan pihak-pihak terkait,” jelas Rahman di sekitar lokasi aksi kamisan.
Juga, tambah Rahman, selain di Polda Sultra, kemah yang kami rangkaikan dengan kamisan ini juga beberapa kali dilaksanakan di sejumlah tempat di Kendari.
“Sewaktu Omnibus Law, kami kemah di DPR. Juga sewaktu Kunjungan Kerja (Kunker) Presiden Joko Widodo di Sultra, kami kemah di daerah Kota Lama,” tambah Rahman.
Mahasiswa dari Universitas Halu Oleo (UHO ini menegaskan, bahwa betul ada beberapa hal yang sempat membuat aksi kamisan ini terhenti sejenak.
“Salah satunya peringatan hari Sumpah Pemuda — Oktober kemarin. Karena sempat terjadi bentrok dengan aparat, mau kembali kamisan, kami agak ragu,” jelas Rahman.
Kesadaran Kolektif
Kesadaran kolektif tentu saja menjadi penting untuk dibentuk demi tak lapuknya gerakan dimakan zaman, setidaknya dalam dunia kampus, karenanya menciptakan kader-kader baru adalah harus, terutama buat Mahasiswa Baru.
Selain karena alasan-alasan ideologis, melebarkan propaganda dan sejenisnya, hal ini juga tidak lain sebagai upaya menghindar dari hilangnya ingatan kita pada peristiwa kelam dua puluh enam September (hari ketika aksi besar dilaksanakan di Sultra dalam #ReformasiDikorupsi) tersebut.
“Dari kesadaran kolektif ini paling tidak,” kata Rahman, “Randy dan Yusuf tidak mati untuk kedua kali. Dan minimal tidak, kasus terbunuhnya mereka menjadi materi wajib ketika penerimaan Mahasiswa Baru.”
Mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia ini menambahkan bahwa, kalaupun kasus ini tidak dapat diselesaikan, paling tidak tetap punya ruang untuk dibicarakan. Menulis tentang mereka di Media Sosial, misalnya. Merawat ingatan adalah sekecil-kecilnya keberpihakan.
Kritik
Penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia memang masih jauh dari kata baik. Fakta ini tak perlu ditutupi, walau terdengar sebagai kegagalan negara yang terus dipelihara. Dan, karena fakta ini juga, timbulnya pesimistis terhadap penuntasan pelanggaran-pelanggaran HAM merupakan satu konsekuensi yang cukup wajar.
Sebagaimana ditegaskan Rahman, ia tak memungkiri bahwa betul pesimistis itu ada. “Saya adalah satu orang yang pesimis. Dan saya selalu sampaikan kepada teman-teman, kuncinya ada pada mereka (pihak kepolisian), mereka punya iktikad baik atau tidak,” lanjutnya.
Sejak awal ketika kasus pembunuhan Randy dan Yusuf ini dilimpahkan ke meja berwajib, memang telah mengindikasikan akan mengendap lama. Terbukti benar. Hingga hari ini, setahun telah berlalu belum juga memperoleh kejelasan.
Bahkan, belum lama ini, Kuasa Hukum Brigadir AM (tersangka penembakan), mengatakan dengan terang bahwa kemungkinan AM bebas itu besar.
Tentu hal ini menyulut ketidakpercayaan menjadi membesar. Seakan, dengan masuknya kasus ini ke pengadilan, hanyalah upaya untuk menyenangkan publik dari tuntutan-tuntutan.
Hal ini pula ditegaskan oleh Rahman. Menurutnya, niat untuk menyelesaikan kasus penembakan ini dipaksakan, sebab terbukti, hingga sekarang kasus Yusuf sendiri masih tanda tanya.
Berkaitan dengan hal ini, melalui wawancara langsung dengan Marwan, mewakili Keluarga Besar Yusuf Randy (KBYR), ia memberi komentar setidaknya dua hal.
Pertama, jika pihak berwajib betul memiliki iktikad baik dalam penuntasan kasus ini, tentu tak akan terbiarkan lama.
“Dalam aturan hukum itu, polisi diberi hak penuh untuk melakukan autopsi. Dan orang-orang yang kemudian menghalangi autopsi itu, dia bisa dikenai pidana,” kata Marwan di tempat yang sama di mana aksi kamisan sedang digelar.
Kedua, Marwan menyinggung soal uji balistik. Ia menanyakan bagaimana kabar uji balistik yang mesti diterbangkan hingga ke mancanegara. Menurutnya, kalau skala internasional harusnya lebih cepat.
“Ini sudah setahun. Tapi bahkan hasil itu kita tak pernah dengar. Kita tak pernah lihat,” jelasnya.
Marwan, yang juga mahasiswa dari UHO ini menambahkan bahwa ada data dari hasil investigasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang, sesungguhnya dapat digunakan pihak kepolisian, seandainya mereka tak punya cukup alat bukti maupun bukti itu sendiri.
“Dengan pengabaian atas temuan-temuan itu semua, terutama dengan rentan waktu yang tak pendek, harusnya tak salah jika kita menganggap bahwa benar negara absen pada soal-soal kemanusiaan,” jelasnya lagi.
Meskipun begitu, Marwan tetap berkeyakinan bahwa kelak kasus pelanggaran HAM Yusuf dan Randy akan tetap memperoleh keadilannya.
“Bagaimanapun, mendiang Randy dan Yusuf ini adalah api yang mesti tetap menyala. Dan sebagai bentuk menjaga keoptimisan ini, kami tentu akan tetap di sini; menggelar kamisan, mendirikan kemah di polda sebagaimana memang kami telah melakukannya setahun terakhir ini,” pungkas Marwan. (SUPI)