LESTARI BUDAYA

Maret 20, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Ketuk Palu Omnibus Law, Jaker Konawe: Preseden Buruk DPR

2 min read
Foto: Pangga Rahmad, Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat Konawe atau Jaker Konawe

Penulis: KP  |  Editor: KP

Suarapinggiran.online – Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja yang resmi disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10/2020), memperoleh banyak kritik dan penolakan dari banyak kalangan.

Beragam reaksi itu datang salah satunya dari Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat Konawe atau Jaker Konawe, Pangga Rahmad.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja tak memiliki relevansi yang jelas, terutama bagi buruh, tani dan nelayan serta kaum miskin kota.  

“Mencari apa relevansi RUU Cipta Kerja bagi rakyat (Indonesia) sama seperti mencari jarum dalam jerami; juga sama seperti pertanyaan, ‘Apa relevansi lembaga DPR hari ini?’,” kata Pangga, Kamis (8/10/2020), di sela mengikuti aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja di Kantor DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra).

Pada kesempatan yang sama, ia menambahkan bahwa, RUU Cipta Kerja teramat syarat kepentingan kelas besar, terutama karena menghilangkan hak-hak para pekerja.

“Misalnya, silakan saja bandingkan antara beleid RUU Cipta Kerja pasal 15A dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di situ terlalu jelas memberi kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan sewenang-wenang,” katanya.

Selain itu, Pangga menilai pengesahan RUU Cipta Kerja telah membentuk preseden buruk bagi praktik lembaga DPR dan demokrasi.

“Ia (DPR) telah tidak adil sejak dalam pikiran. Ini buruk. Pembahasan (RUU Cipta Kerja) ini hingga pengesahannya cacat, baik proses formil maupun substansi materilnya,” ungkapnya.

Pelibatan publik yang tak ada menjadi perhatian serius. Padahal, itu menjadi penting untuk membuka keran aspirasi demi mewujudnya demokrasi yang sebenar-benarnya.

Pangga juga menegaskan seraya meyakini bahwa demonstrasi penolakan pengesahan UU Cipta Kerja ini akan tetap digalakkan oleh semua elemen di kabupaten kota dan provinsi di Indonesia, sebab tak ada nilai tawar jika urusannya menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Narasi yang coba disederhanakan ‘kan, membawa UU ini ke MK (Mahkamah Konstitusi). Jangan, itu bisa mereduksi gerakan. Kemungkinan untuk menang pun kecil.  Mendesak Presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) saya kira lebih mungkin, sekalipun kita tahu Omnibus Law ini diinisiasi sendiri oleh pemerintah,” pungkasnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *