RUU Cilaka Bakal Disahkan, Front Rakyat Sultra Bersatu : GAGALKAN!!
3 min readDi Kendari Sulawesi Tenggara, belasan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Front Rakyat Sultra ( FORSUB) menolak dan mendesak penghentian pembahasan Omnimbus Law RUU Cipta Kerja. Pernyataan sikap ini terlahir setelah diadakannya konsolidasi dan diskusi di kantor Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, kemarin (15/07/2020).
Konsolidasi masyarakat sipil ini merupakan peringatan bagi pemerintah dan wakil rakyat agar dapat mendengar dan melihat penderitaan rakyat yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjadi korban pembiaran perampasan tanah di mana-mana.
Kisran Makati, Direktur Pusat Kajian & Advokasi Hak Asasi Manusia ( PUSPAHAM ) Sulawesi Tenggara mengatakan hal itu dengan harapan pemerintah dapat lebih fokus mengatasi persoalan pandemi yang lebih urgen.
“Kami ingin pemerintah fokus mengatasi Covid-19 dan memastikan perlindungan kesejahteraan, menegakkan keadilan, serta menghormati demokrasi. Bukan malah sibuk mengurus apalagi mengesahkan RUU Cilaka” tegasnya.
Kisran Makati, yang juga menjabat Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, menilai aturan dalam Omnibus Law secara eksklusif sengaja dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor/korporasi ketimbang perlindungan terhadap hak demokrasi dan konstitusional rakyat. Amanah konstitusi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat di kesampingkan begitu saja dengan dalih mendatangkan investasi.
Mirisnya, banyak kasus-kasus kriminalisasi yang terjadi terhadap masyarakat justru dipelapori korporasi/investor itu sendiri. PT GKP di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan salah satunya, telah melaporkan petani kecil lantaran mempertahankan hak atas tanahnya yang diklaim sebagai IUP dari perusahaan tersebut. Negara pada titik ini dinilai abai dalam tanggung jawabnya melindungi dan membela rakyatnya. Negara justru kemudian membuat aturan yang mengukuhkan keistimewaan posisi investor dan korporasi itu dengan berbagai kemudahan regulasi di RUU Cilaka.
Sementara itu, menurut Didi Hardiana (Konsorsium Pembaruan Agraria Sultra) menilai substansi omnibus law RUU Cilaka telah melanggar konstitusi termasuk melawan sepuluh keputusan Mahkamah Konstitusi terkait agraria. Ia berkesimpulan RUU Cilaka merupakan undang-undang yang bukan hanya liberal tapi juga neoliberal, karena hendak menjadikan tanah sebagai benda komoditas untuk dikomersilkan bertentangan dengan Undang-undang Pokok Agraria.
“Ada motif jahat yang semakin vulgar untuk mengganti Undang-undang Pokok Agraria yang merupakan benteng terakhir petani melalui aturan ini” terangnya.
Petani Masyarakat Adat & Nelayan dipastikan akan tergusur dari ruang hidupnya lantaran kebijakan pemerintah yang justru memberikan berbagai keistimewaan dan prioritas kepemilikan lahan untuk kepentingan bisnis dan investasi. Lanjutnya, RUU Cipta Kerja juga menjadi ancaman bagi turunnya kualitas dan kuantitas panen kaum tani, nelayan dan masyarakat adat karena perubahan fungsi lahan oleh pengusaha semata-mata hanya untuk kepentingan bisnisnya. Imbasnya, rakyat kecil sangat mudah dikriminalisasi jika melakukan perlawanan melawan proyek para investor dan pengusaha yang notabene telah direstui sebelumnya oleh pemerintah.
Penolakan lain juga diungkapkan Ujang Uskadiana, Ketua Serikat Tani Konawe Selatan (STKS). Menurutnya, Omnibus Law sangat tidak berpihak kepada petani, buruh tani, buruh, nelayan, kaum miskin kota dan masyarakat adat. Bahkan, sebelum RUU ini pun telah banyak luka yang dialami rakyat kecil lantaran watak dan praktek peraturan yang tidak adil. Berbagai modus dan skema perampasan tanah yang berujung konflik agraria dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian hingga merugikan produktifitas petani.
“Kami meminta kepada pemerintah untuk tidak mengesahkan RUU Cilaka ini. Karena Omnibus Law ini sangat tidak berpihak kepada kami kaum tani. Peraturan yang sebelumnya saja sudah tidak adil. Banyak konflik agraria yang belum ada kejelasan penyelesaiannya” tukasnya.
Dukungan terhadap aksi 16 Juli juga disampaikan Novi Lestari – Solidaritas Perempuan (SP) Kendari. Slain karena lebih memihak kepada investor, Omnibus Law ternyata juga mengabaikan hak-hak perempuan terutama mereka yang berada dilevel akar rumput. Bahkan menurutnya, diskriminasi dan ketidakadilan gender akan semakin menjadi-jadi akibat maraknya pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan.
Organisasi “Rumah Revolusi” melalui ketuanya, Fani Astika juga menegaskan hal yang sama. Oligarki, ketidak-adilan dan diskriminasi semakin langgeng selain akan semakin banyaknya hak asasi manusia ditindas jika Omnibus Law disahkan.
“intinya tidak ada kepercayaan terhadap RUU Omnibus Law, jika di sahkan akan berdampak pada rusaknya lingkungan melalui kemudahan izin serta merugikan hak-hak buruh dengan upah yang murah” ujarnya.
Ditingkat organisasi pergerakan mahasiwa, hanya LMND dan GMNI Kota Kendari yang kemudian bersikeras menolak dan mendesak Omnibus Law untuk tidak disahkan. RUU itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dilihat dari kacamata formil hingga materil. RUU Cipta kerja atau Omnibus Law kami nilai hanya mementingkan kepentingan oligarki dan mengesampingkan nilai kesejahteraan buruh, lingkungan dan aspek pendidikan.(*)
Tentang Front Rakyat Sultra ( FORSUB) – Tolak Omnimbus Law Gebrak merupakan gabungan berbagai organisasi: petani, buruh perempuan, mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil. Di antaranya adalah Konsosrsium Pembaruan Agraria ( KPA ) Sulawesi Tenggara, Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia ( PUSPAHAM ) Sulawesi Tenggara, Solidaritas Perempuan ( SP ) Kendari, Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), FORSDA Kolaka, Liga Mahasiswa Nasional Demokratis ( LMND ) Kota Kendari, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI) Rumah Revolusi, KBS, FORMATANI.