Melebur Tanah Merah, Mangkir Meja Hijau | Melawan Pembunuh Senyap di Morosi
2 min readKonawe, suarapinggiran.com
Dua perusahaan besar mega Industri Morosi, PT OSS dan PT VDNI mangkir sidang Perdana Gugatan Lingkungan Hidup yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Unaaha, kemarin (23/12/2024)
Walhi Sultra bersama warga terdampak sebagai penggugat, menilai perusahaan pengolah tanah merah dan biji mineral menjadi logam murni itu telah berkontribusi terhadap degradasi hidup dan lingkungan warga lingkar industri di wilayah itu sepanjang tahun, sejak 7 tahun silam.
Tidak tanggung-tanggung, PLTU dengan energi fosil batu bara yang beroperasi pada tahun 2018 silam guna produksi smelter itu justru memicu jumlah penderita ISPA akibat limbah polutan, mengotori udara, pemukiman, tambak, hingga paru-paru warga.
“Dampak dari debu batu bara juga menyerang kesehatan masyarakat, data Puskesmas Morosi dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang tinggi dari penyakit ISPA atau penyakit pernapasan” ujar Andi Rahman, Direktur Walhi Sultra dalam Konferensi Persnya kemarin di Unaaha.
Terkait hal itu, penelusuran media Suara Pinggiran setahun yang lalu telah sebelumnya menunjukkan kenyataan yang pahit. PLTU PT OSS dan VDNI dengan kapasitas masing-masing 1.820 MW dan 530 MW faktanya tidak saja menjadi mesin penebar maut bagi pekerja, namun juga bagi warga sejumlah desa di beberapa kecamatan lingkar Industri Morosi itu.
Betapa tidak, sebanyak 180.000 ton batu bara dihabiskan perusahaan itu guna operasional PLTU mereka setiap tahunnya dan memicu abu hitam dari aktivitas pembakaran setiap harinya.
Polusi udara yang terdiri dari partikel kecil berbahaya itu kemudian menembus sistem filter hidung, masuk kedalam aliran darah hingga ke paru-paru melalui jaringan kapiler dan menyebabkan kanker paru-paru, asma, bronkitis, infeksi mata dan ISPA.
Diketahui, dari data yang diolah melalui Puskesmas Morosi menunjukkan peningkatan penderita ISPA dari tahun ke tahun semenjak beroperasinya pabrik pemurnian nikel di wilayah itu. Pada tahun 2020, penyakit ISPA mencapai 319 kasus, bertambah menjadi 419 kasus pada tahun 2021, dan 385 kasus pada tahun 2022 dengan jumlah kunjungan masing-masing diatas 400 sampai 700 kunjungan.
“Pembunuh Senyap” itulah yang kemudian menetaskan penolakan warga hingga berbuntut gugatan hukum. Dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan dibaliknya melegitimasi sejumlah NGO Lingkungan, Walhi Sultra, LBH Kendari, LBHR Makassar dan tentu saja warga terdampak menggelar perkara di meja hijau Pengadilan Negeri Unaaha, Senin kemarin (23/12/2024)
Meski demikian, alih-alih koperatif terhadap proses hukum, Kedua perusahaan itu justru mangkir dari sidang gugatan lingkungan hidup di Pengadilan Negeri (PN) Unaaha meski surat telah dilayangkan sebelumnya.
“Kami sangat menyangkan ketidakhadiran kedua perusahaan itu, padahal surat panggilan telah diberikan dari pihak pengadilan. Tergugat dalam hal ini tidak koperatif dalam menghadapi proses hukum” kesal Andi Rahman.(*)
Laporan : Fidel Muhammad