Mendengar “Jeritan” Keluarga Buruh
3 min readsuarapinggiran.online_ Terik itu akhirnya pecah. Saat isyarat waktu menemui rasa lelah, dan peluh akhirnya berbicara, si tua renta masih saja bergelut. Di kaki gunung berteman bebatuan. Ini bukan hari pertama, suara palu besar menghantam bongkahan-bongkahan dalam satu keinginan.
Bersama keluarganya, buruh renta ini menuai asa dibalik tumpukan batu yang telah mereka pecahkan bersama sejak dua pekan lalu.
Jangan salah berharap banyak. Menjadi pemecah batu bukan hal yang mudah. Meski tak sebanding dengan upah, pilihan ini adalah yang terakhir ketimbang meratapi kemiskinan, sebab, 40 ribu rupiah untuk satu ret batu gunung adalah kepuasan tersendiri bagi si tua.
Tidak seperti para pelancong status, pemuja harta dan selir-selir picik kekuasaan, si tua lebih arif menerima hidup dengan jerih payah dirinya yang membanggakan meski dengan upah rendah.
Dia tidaklah bermukim di sekitar pegunungan batu itu. Sepeti halnya anak dan menantunya, mereka adalah warga desa yang jauh disana. Desa Mendikonu Kecamatan Bondoala. Butuh waktu 2-3 jam perjalanan dari kampung itu untuk bisa sampai di Desa Amesiu Kecamatan Besulutu, tempat sanak keluarganya yang lain. Keputusan untuk menjadi buruh pemecah bebatuan ini dilakukan bukan karena tak ada lagi pekerjaan lain, tetapi lantaran usaha pertanian yang telah lama digelutinya selama ini tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang serba berkekurangan.
“Nama saya Anas, saya ada sawah di kampung tapi sempit saja, kalau hasilnya untuk keluarga itu bukan pas-pasan tapi kurang nak. Saya cerita ini bukan karena tidak bersyukur, tapi karena adek Tanya yang sebenrnya. Jadi saya cerita juga yang sebenarnya. Jadi saya kerja jadi tukang pecah batu ini karena untuk tambah penghasilan keluarga walaupun tidak seberapa” kata lelaki yang telah berusia 67 tahun ini.
Benar adanya, dalam soal kerja dan penghidupan, orang pun mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Terus bekerja atau pensiun bukanlah pilihan biasa yang bisa saling menggantikan. Pilihan untuk terus bekerja atau pensiun lebih merupakan dilema bagi orang-orang tua. Pilihan atas dilema ini berbeda-beda bergantung latar belakang ekonomi rumah tangganya. Di satu sisi, orang-orang kampung menilai tinggi orang-orang tua yang masih bekerja. Berhenti bekerja semasa hidupnya merupakan tekanan berat, karena ini akan menunjukkan bahwa mereka memang sudah tua renta dan menjadi orang yang sepenuhnya bergantung pada yang muda Penduduk kampung memiliki kategori tersendiri untuk golongan yang sudah mati secara sosial, yakni rompoh. Orang tua rompoh selalu sakit-sakitan, ba- dannya kurus dan tampak lemah, dan ‘suaranya’ tidak lagi diperhitungkan dalam politik keluarga dan komuniti. Sakit dipercaya sebagai penyakit orang miskin. Oleh karena itulah bekerja terus menjadi pilihan bijaksana untuk tetap memperoleh martabat.
Buruh yang mengandalkan penghidupannya pada penjualan tenaga yang dihasilkan tubuhnya kian tersingkir dari pasar kerja ketika tubuh mulai menua dan melemah seiring dengan waktu. Selain cangkul, arit, karung bekas, dan sepeda, tubuh adalah modal terpenting buruh. Prinsip yang berlaku adalah jangan pernah sakit dan jangan pernah tua. Orang-orang tua dari lapisan buruh miskin harus tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk menyumbang bagian dalam ekonomi rumah tangga anak tempatnya bernaung, yang hampir selalu, sama-sama miskin. Strategi lapisan buruh di perdesaan adalah bertahan hidup, menyambung harapan demi harapan menjadi rangkaian ‘asal bisa hidup’.
Sejak dulu, Anas dan Keluarganya mengandalkan kerja kasar yang hasilnya selalu pas-pasan. Perbedaannya, seiring dengan bertambahnya usia, hasil kerja mereka terus mengalami menurun. Kemiskinan akhirnya tetap saja menjadi momok yang menakutkan, tidak hanya bagi Anas dan keluarganya, tetapi juga bagi buruh dan kaum terpinggir lainnya.(jm)