Momen Hari Buruh, Pekerja PT PLM dan PT AABI di Bombana Merasa Tertindas di Negeri Sendiri
2 min read
Momen Hari Buruh, Pekerja PT PLM dan PT AABI di Bombana Merasa Tertindas di Negeri Sendiri
BOMBANA, suarapinggiran.com –
Di tengah peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, suara getir datang dari para pekerja tambang emas di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Alih-alih merayakan solidaritas dan perjuangan kaum buruh, mereka justru menggugat keadilan yang tak kunjung mereka rasakan sejak bertahun-tahun.
Adalah para pekerja dari PT Panca Logam Makmur (PLM) dan PT Anugrah Alam Buana Indonesia (AABI) yang bersuara lantang, menuntut hak-hak normatif yang mereka klaim telah diabaikan sejak lama oleh perusahaan tambang tempat mereka bekerja. Para buruh menyebut diri mereka telah tertindas di tanah kelahiran sendiri oleh investor yang datang dengan berkedok investasi.

“Kami dijanjikan pemberdayaan dan pembangunan. Nyatanya kami dijadikan budak di negeri sendiri,” ungkap perwakilan pekerja, Asdar saat menggelar unjuk rasa, Kamis (1/5/2025).
Sejumlah pelanggaran disebut telah dilakukan perusahaan, mulai dari tunggakan gaji, ketidakjelasan insentif dan lembur, hingga pemutusan sepihak keikutsertaan BPJS. Bahkan, kasus kecelakaan kerja yang berujung kematian dan penyakit parah pun terjadi tanpa tindak lanjut yang jelas.
Para pekerja mengklaim, sejak 2022, PT PLM dan PT AABI tidak membayarkan upah secara penuh, termasuk lembur hari libur nasional, insentif dan bonus. Berbagai upaya telah mereka tempuh, termasuk menyurati Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bombana dan Provinsi Sultra, namun hingga kini belum membuahkan hasil.
“Kami sudah bersurat ke Disnakertrans Provinsi maupun Kabupaten sejak Juni 2024. Sampai surat kedua pada Juli, tidak ada penyelesaian. Kami sudah lelah, tapi tidak akan berhenti menuntut hak kami,” bebernya.
Lebih jauh, tragedi kemanusiaan disebut turut menghantui lingkungan kerja perusahaan. Pada 27 April 2024, seorang pekerja berinisial IB dilaporkan tewas tenggelam di bekas galian tambang milik PT Panca Logam Makmur. Diduga kuat, insiden itu terjadi akibat tidak adanya reklamasi pasca-penambangan.
“Kami sudah laporkan ke Polres Bombana, tapi kasusnya dihentikan. Begitu juga dengan kasus NM yang sakit parah karena terpapar mercury saat proses pembakaran emas. Laporan ke Polda Sultra pun mandek,” kata Asdar.
Menurut kronologi yang disampaikan, pada Juli 2024, manajemen perusahaan yang diwakili oleh Ikram Paputungan sempat menjanjikan pembayaran hak pekerja usai penjualan aset perusahaan. Namun hingga aset-aset tersebut terjual habis, hanya dua bulan upah November dan Desember 2024 yang dibayarkan.
Puncaknya terjadi pada Januari 2025, ketika perusahaan secara sepihak menghentikan keikutsertaan pekerja dalam BPJS Kesehatan, menyulitkan mereka mendapatkan layanan kesehatan dasar. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, hal itu merupakan kewajiban pemberi kerja.
Dengan demikian Asdar mewakili pekerja lainnya berharap, momentum Hari Buruh dan transisi pemerintahan tahun ini menjadi titik balik bagi nasib mereka. Mereka mendesak Presiden RI dan seluruh kementerian/lembaga terkait untuk turun tangan menegakkan keadilan ketenagakerjaan di sektor tambang.
“Kami tidak minta lebih. Kami hanya ingin hak kami dibayarkan. Kami ingin kerja layak, upah layak, dan hidup yang manusiawi. Negara harus hadir untuk kami,” tandasnya.
Pihak PT Panca Logam Makmur dan PT Anugrah Alam Buana Indonesia belum memberikan tanggapan. Media ini masih berupaya melakukan konfirmasi.(*)
Laporan : Redaksi
Very good https://is.gd/N1ikS2