Pemerintah Dinilai Gagal, “Mafia”nya Siapa?
2 min readBegitu pentingnya peran pupuk, hingga pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk secara efisien melalui kebijakan harga, pengadaaanya maupun distribusinya. Salah satu isntrumen kebijakan tersebut adalah pemberian subsidi pada harga pupuk. Dengan harapan, titik maksimum dari produktivitas atau keuntungan dapa tercapai.
Sayangnya, dari tinjauan Rumah Tani Indonesia (RTI) Kabupaten Konawe, distribusi yang diharapkan tepat sasaran itu tidak terjadi hampir di setiap kecamatan dan desa yang ada. Betapa tidak, dari wawancara dengan beberapa petani sejak tahun 2017 lalu di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Anggaberi, Abuki, Tongauna, Meluhu dan Amonggedo, keluhannya tetap saja sama. Jika tidak mengalami kelangkaan, pengadaan pupuk bersubsidi yang sangat diharapkan petani tersebut justru mengalami keterlambatan distribusi.
“tentang pupuk bersubsidi ini telah lama menjadi persoalan, terlebih di tingkat petani, akibatnya sangat mempengaruhi kualitas hasil tanamnya, tingkat kesejahteraan petani konawe juga akhirnya ikut terpengaruh” Ujar Helni Setyawan, Kepala Departemen Riset Rumah Tani Indonesia (RTI) Kabupaten Konawe kepada suarapinggiran.online kemarin (21/12).
Padahal, lanjut Helni, berdasarkan data Kementerian Pertanian Realisasi penyaluran pupuk subsidi sudah mencapai 84 persen atau sekitar 8,0 juta ton dari alokasi sebanyak 9,55 juta ton. Selain itu, untuk menjamin ketersediaan pupuk sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah juga telah menerbitkan Permentan No. 47/Permentan/SR.310/12/2017 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian TA. 2018.
Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi pun telah dilakukan melalui penugasan PT Pupuk Indonesia (Persero) sesuai dengan ketentuan Permendag No: 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
Anehnya, data dan regulasi tersebut ternyata tidak menjamin selesainya persoalan klasik ini di tingkat petani. Tidak jarang, sebagian besar warga petani di beberapa desa memilih meninggalkan sawah mereka dan bekerja di sektor industri lantaran ketersediaan sumber daya produksi pertanian mereka seperti pupuk tersebut tidak memadai atau justru merugikan.
“masalah pupuk disini sudah dari dulu, jangankan pupuk subsidi, yang tidak subsidi saja susah dapatnya, sekarang sebagian warga desa Tudameaso dan Woerahi meninggalkan sawahnya dan memilih kerja di pabrik arang yang tidak jauh dari sini” tukas seorang petani Desa Tudameaso Kec. Meluhu belum lama ini (20/12) kepada suarapinggiran.online.
Pemerintah dalam Hal ini dinas terkait, akhirnya dinilai gagal dalam mengemban tugasnya. Menurut Helni, Indikatornya terlihat jelas, pengawasan terhadap kesediaan stok pupuk sampai ketingkat petani dan kelangkaannya kurang maksimal. Selain itu, kuat dugaan, mafia pupuk kerap melakukan penimbunan, untuk kemudian menjualnya kembali dengan harga yang tidak normal saat kelangkaan terjadi.
“kami menduka kuat, masalah ini terjadi akibat adanya permainan oknum tertentu di tingkat pengecer dan distributor pupuk, akhirnya petani mengalami kerugian karena subsidi pemerintah malah dijadikan lahan bsinis, ini menjadi indikator bahwa pemerintah melalui dinas terkait ternyata gagal melindungi petani” cetus Helni diakhir wawancara. (*jm)