Rapat Akbar Gerakan Reforma Agraria, Penolakan Omnibus Law Masih Berlanjut
2 min readPenulis: Iskandar Wijaya | Editor: Kp
Rapat Akbar Gerakan Reforma Agraria (RAGRA) yang dilaksanakan pada Sabtu (21/ 11/2020) di Kab. Kolaka Timur (Koltim) berjalan lancar dan sukses.
Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama KPA Wilayah Sulawesi Tenggara (Forsda) dan Forum Swadaya Daerah (FORSDA) Sultra, berikut dihadiri Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, masyarakat Desa Laolera, dan Desa Wonumabute Kec. Lambandia, Kab. Koltim.
RAGRA tersebut bertujuan untuk membagikan pengetahuan kepada petani dan masyarakat tentang Reforma Agraria serta menyosialisasikan bahaya UU No. 11 Tahun 2020 yang termuat dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Syamsudin, mewakili Sekretaris Nasional (Seknas) KPA, Kepala Departemen Penguatan Organisasi, mengatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 akan membawa lima dampak besar kepada petani.
“Monopoli tanah, menambah konflik agraria, konversi tanah, kemiskinan yang makin tinggi dan kerusakan lingkungan,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 diperparah dengan hadirnya bank tanah yang hanya sebagai alat komoditas.
Di kesempatan yang sama, Ketua Forsda, Jabir, mengatakan kegiatan RAGRA ini sangat berdampak positif kepada masyarakat, dan sangat mengapresiasi sebab reforma agraria memang sangat penting bagi kehidupan petani-petani kedepannya.
“Sehingga petani dapat meningkatkan taraf kehidupannya melalui tanah, dapat berproduksi dengan tanah yang ada dan berdaya atas tanahnya sendiri,” katanya kepada Suarapinggiran.online.
Jabir juga menuturkan bahaya yang terkandung dalam UU No. 11 Tahun 2020 terutama soal pembentukan lembaga bank tanah.
Kata Jabir, yang akan merasakan dampaknya adalah petani dan masyarakat adat.
“Tanah Serikat Tani Mekongga yang hari ini diperjuangkan belum ada keputusan dari pemerintah dengan luasan sekitar 500 hektar. Kemungkinannya besar bahwa bank tanah akan mengambil itu dan hak-hak pewaris tidak dapat lagi diperoleh,” terangnya.
Diketahui, Serikat Tani Mekongga (STM) dan FORSDA telah menduduki lahan tersebut kurang lebih sembilan tahun. Tanah yang diduduki ialah tanah eks perusahaan PT Sandabi yang Hak Guna Lahan (HGU)-nya telah habis. Tapi bahkan sampai saat ini belum ada titik terang terutama soal kejelasan dari pemerintah untuk mendistribusikan tanah kepada STM.
Berkaitan dengan RAGRA tersebut, KPA Wilayah Sultra turut menanggapi melalui koordinatornya, Torop Rudendi. Ia juga menyorot hal yang sama, yakni UU No. 11 Tahun 2020.
“UU Cipta Kerja pada akhirnya akan menghambat pelaksanaan Reforma agraria,” katanya.
Torop juga menambahkan bahwa KPA Sultra akan terus memperkuat basis masyarakat tani di Sultra untuk melaksanakan reforma agraria dan mencegah bahaya UU No. 11 Tahun 2020.
Gunawan Bin Bora, tokoh masyarakat setempat sangat berterima kasih kepada KPA Nasional, Dewan Nasional dan KPA Wilayah Sultra sebab telah menyelenggarakan RAGRA.
Kegiatan ini, kata Gunawan, memberikan semangat baru bagi kami masyarakat yang sedang menduduki lahan seluas kurang lebuh 500 hektar.
“Kami masyarakat Desa Lalolera sangat terbantu dengan hadirnya KPA nasional di tanah yang sedang kami duduki bersama 586 Kepala Keluarga (KK). Kami akan terus menduduki lahan ini dan juga akan menggarapnya,” ungkapnya.
Kegiatan ini juga sekaligus mendeklarasikan penolakan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja dan meminta kepada pemerintah daerah Kab. Koltim segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait tanah 500 hektar yang akan diberikan kepada warga. (SUPI)