LESTARI BUDAYA

Oktober 6, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Sebidang Tanah, Seribu Petaka

4 min read

Tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Selain sebagai bentuk kemakmuran, tanah juga merupakan sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan kelas-kelas sosial. Maka, setiap jengkal tanah adalah harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.

Di negeri agraris ini, sejak dulu, di Orde Baru sampai Reformasi, tanah selalu menjadi isu krusial. Tanah selalu menjadi lahan perebutan kepentingan, antar rakyat dengan kekuasaan politik dan korporasi. Alih-alih menjadi sumber penghidupan, Tanah malah menjadi sumber petaka. Legitimasi regulatif dari Kebijakan tanah yang bersifat populis pada era Orde Lama berupa Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang diharap dapat mendampingi kepentingan rakyat malah hanya menjadi goresan bisu sejarah masa lalu.

Banyaknya sengketa agraria yang terjadi menunjukkan belum terlindunginya hak rakyat atas tanah. Adanya kepentingan yang sama terhadap sumber produksi yang sama merupakan sumber konflik bagi masing-masing pihak, baik bagi rakyat kecil, negara, maupun pemilik modal. Dalam hal ini rakyat kecil adalah pihak yang selalu dikalahkan. Ketidakadilan yang mereka peroleh terkadang hanya dijalani dengan pasrah, dan terkadang pula berubah menjadi sebuah resistensi.

Di Kabupaten Konawe, Konflik terkait tanah itu bemunculan pasca semakin masifnya ekspansi perkebunan sawit berskala besar. Dari format data dinas perkebunan Kabupaten Konawe 2014, 123.200 hektar hutan alam dan lahan gambut telah digerus 11 perusahaan untuk perkebunan emas hijau itu. PT. Tani Pima Makmur, perusahaan kelapa sawit dengan isin lokasi mencapai 15.500 hekta, menjadi yang terluas setelah PT Sumber Alam Karya Semesta yang mencapai 20.000 hektar.

Faktanya, kebijakan pemerintah daerah itu menyisakan cerita miris yang belum pula berkesudahan. Melalui proyek pekebunan kelapa sawit, Kabupaten Konawe telah turut menetaskan deforesisasi, konflik agraria, kerusakan sungai dan anak-anaknya, perubahan iklim akibat alih fungsi hutan, sejak upaya komesialisasi kelapa sawit 102 tahun silam. Perkebunan sawit dinilai telah menyum­bang 20 persen emisi karbon global, pelanggaan HAM dan hegemoni kapitalis berebungkus kesejahteraan.

Dengan demikain pula, Kabupaten Konawe turut menambah jumlah Kebun inti dan kebun plasma Produksi minyak sawit yang telah meningkat lebih dari 2 kali lipat di Indonesia dalam satu dekade terakhir dan kini tengah mendominasi pasar minyak sayur internasional. Dengan perkiraan permintaan minyak sawit yang akan mencapai 3 kali lipat pada tahun 2050,  tren ekspansi kelapa sawit akan terus berlanjut.

Pola kemalangan petani kecil dimuai dari pejanjian kontak kemitraan dengan perusahaan-perusahaan itu. Dalam perjanjian, tertuang mekanisme formal yang tidak disadari menjerat petani dalam pola pembodohan yang terselubung. Selama satu siklus produksi, yakni 35 tahun, Perusahaan sawit hanya bersedia membayar ganti rugi kepada petani sebanyak 1.325.000 rupiah per hektar untuk lahan kategori datar dan 1.000.000 rupiah untuk lahan kategori rawa. Hal ini dipandang terlalu murah, mengingat terdapat ketentuan lain yang menyebutkan keharusan petani mengganti biaya investasi perusahaan dalam pembiayaan dan pengolahan lahan yang ternyata mencapai 47.500.000 rupiah.

Utang kepada pihak perusahaan yang wajib bagi petani itu akan diangsur sampai lunas dari total bagi hasil penjualan 35 persen kebun plasma. Ini berarti, petani hanya mendapatkan hasil 17,5 persen dari 1 hektar tanah yang telah mereka mitrakan. Hal ini diperparah lagi dengan keharusan petani menanggung utang dari biaya perawatan, pemupukan, biaya panen, biaya pengangkutan dan fee yang telah dikeluakan oleh pihak perusahaan selama mengelola pekebunan sawit itu.

Anehnya, dalam setiap sosialisasi yang dilakukan pihak perusahaan kepada petani, detail tentang pembagian hasil dari 35 persen kebun plasma itu tidak pernah disebutkan. Petani hanya mengetahui 65 : 35 adalah pembagian hasil yang akan diterima dari 1 hektar tanah yang telah mereka mitrakan.  65 persen untuk perusahaan dan 35 persen untuk petani. Cukup sampai disitu.

Dalam pengakuan seorang aktivis petani di Kabupaten ini, setiap sosialisasi pihaknya berulang kali mengingatkan para petani untuk tidak begitu saja memitrakan lahannya karena kuatnya dugaan pembodohan yang terbungkus rapih di dalamnya. Karena itu pula, perusahaan tidak lagi mengundangnya dalam sosialisasi-sosialisasi berikutnya.

Tidak pula untuk dilupakan begitu saja, petani sejak awal telah meragukan transparansi pihak perusahaan dalam pengelolaan perkebunan itu. Diduga dalam kurun waktu masa panen perdana, perusahaan sawit PT TPM telah melakukan penjualan hasil dengan tanpa kejelasan pembagian. Hal ini diungkapkan setelah beberapa kali pihak petani melihat pengangkutan kelapa sawit dari lokasi perkebunan keluar daerah. Alasannya cukup umum, masih berupa buah pasir dan masih adanya kerugian ekonomi yang dialami perusahaan.

Lantas dimulai dari hal apa menyoal janji kesejahteraan yang diumbar-umbar itu, jika dari tahap awal, sampai proses perjalanannya ternyata menoreh luka bagi petani, menetaskan deforestasi, menghilangnya keanekaragaman hayati, merusak anak-anak sungai, menggerus identitas adat dan budaya berupa tanaman sagu, mengakibatkan polusi air dari sisa proses dan limbah beracun dari pabrik, mengakibatkan erosi tanah, penipisan nutrisi serta terakhir adalah peningkatan emisi karbon.

Maka adalah benar kita saat ini hidup tanpa akibat yang fatal dari bentuk keserahakan pada alam itu. Namun ternyata tidak bagi mereka yang sebenarnya sumber kita meminjam nafas. Sebab bukan lagi hal yang mesti ditengarai, bahwa kehidupan ini adalah milik mereka, anak cucu kita.(*)

Penulis : Jumran,S.IP (Ketua Serikat Tani Nelayan STN Konawe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *