Senjakala Tanah Adat dalam Genggaman Elite Kekuasaan
4 min readPenulis: Jurnalis Supi | Editor: Kp
Suarapinggiran.online, Kolaka – Komunitas Tolaki Mekongga (KTM) sebagai pemegang hak waris tanah di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT. Perkebunan Ladongi mesti menelan pil pahit atas kebijakan yang dikeluarkan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kab. Kolaka Timur (Koltim).
Kebijakaan itu berupa diterbitkannya sertifikat (redistribusi/redis) tanah yang dinilai sarat kepentingan, sebab mengingat ia (sertifikat) dikeluarkan dengan terburu-buru dan, tentu saja mengangkangi hukum yang berlaku terutama karena mendahului hak-hak pewaris.
Diketahui, selepas HGU PT. Perkebunan Ladongi berakhir, maka dengan sendirinya lahan itu berstatus sebagai Tanah Terlantar, dan pada gilirannya ditetapkan sebagai objek redistribusi lahan sebagaimana dimaksud dalam program Reforma Agraria Presiden Joko Widodo.
Namun, ATR/BPN Kab. Koltim, yang merupakan perpanjangan tangan pusat, tetiba mengeluarkan sertifikat di lahan tersebut bahkan atas nama kepemilikan yang berbeda.
Advokasi
Sejak pendudukan lahan pada tahun 2012, persis ketika Kab. Koltim belum dimekarkan, Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa) Kolaka bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tenggara (Sultra) telah melakukan advokasi mendampingi masyarakat terutama pemegang hak waris tanah dari KTM.
Artinya, kerja-kerja advokasi yang dilakukan telah berusia selama hampir sembilan tahun.
Semula, besaran hak waris eks lahan HGU yang diusulkan berkisar 2000 (dua ribu) ha. Kemudian, negosiasi yang terjalin antara Pemerintah Daerah (Pemda) Koltim, Kanwil ATR/BPN Koltim dan masyarakat pewaris, sama menyepakati hak waris atas lahan tersebut seluas 500 (lima ratus) ha — dengan pertimbangan di antaranya sebagian tanah tersebut telah dimiliki oleh warga yang juga adalah mantan karyawan PT. Perkebunan Ladongi.
Namun, dalam perjalanannya, persis pada September (2020) sebulan lalu, ATR/BPN Kab. Koltim, tetiba mengeluarkan sertifikat redis tersebut bersamaan dengan Kunjungan Kerja (Kunker) Kementerian ATR/BPN di Kab. Koltim.
Tentu saja kebijakan ini memunculkan polemik baru, terutama karena redis tersebut dinilai tidak cukup kuat untuk disebut sebagai langkah yang bijak, terutama mengingat sebagian penerima dari sertifikat redis tersebut justru datang dari elit-elit lokal (tuan tanah).
Beragam upaya telah dilakukan, baik dari segi persuasif (dalam bentuk persuratan kepada Pemda Koltim) maupun dengan jalan demonstrasi.
Namun, seperti diketahui, sampai hari ini, reforma agraria yang digadang-gadang dapat mengikis tebalnya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat, terkhusus masyarakat Koltim, demikian serupa isapan jempol.
Tuntutan
Koordinator Presidium ForSDa Kolaka – Sultra, Djabir Teto Lahukuwi, melalui via telepon dengan Jurnalis Suarapinggiran.online pada Jumat (23/10/2020) malam, mengatakan, bahwa akan terus memberikan dampingan dalam bentuk apa pun terhadap penegasian hak KTM sebagai pemegang waris tanah tersebut.
Ia pula menegaskan bahwa akan mendesak ATR/BPN Prov. Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk segera melaksanakan retribusi lahan hak waris tanah kepemilikan adat kepada KTM yang, selama ini hak-hak mereka dirampas.
“Dan, pihak ATR/BPN Prov. Sultra harusnya mengawasi kinerja dari ATR/BPN Kab. Koltim dalam melakukan pemetaan tanah eks HGU PT. Perkebunan Ladongi yang diperuntukkan terhadap pemegang hak waris,” jelas Djabir, sapaan akrabnya.
Untuk diketahui, pada Selasa (20/10/2020), ForSDa Kolaka mengeluarkan pernyataan sikap yang di dalamnya memuat sejumlah tuntutan, di antaranya, meminta pihak ATR/BPN Kab. Koltim untuk membatalkan sertifikat yang dikeluarkan.
Di tempat terpisah, Koordinator Wilayah (Korwil) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, Torop — yang juga turut mengadvokasi ihwal hak waris ini — mengatakan, bahwa dalam skema reforma agraria Presiden Joko Widodo itu jelas.
“Pertama, ia harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Prinsip keadilan ini ‘kan bisa dilihat secara luas, termasuk subjek siapa yang berhak memanfaatkan tanah itu. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Bab enam tentang reforma agraria tahun 2018,” kata Torop melalui sambungan telepon dengan Jurnalis Suarapinggiran.online pada Jumat (23/10/2020) pagi.
Di situ jelas, tambah Torop, bahwa yang paling berhak adalah buruh tani, petani-petani miskin yang memiliki lahan sempit, nelayan dan sejenisnya.
“Sehingga, saya melihat bahwa program reforma agraria yang dilaksanakan oleh Kanwil maupun Pemda Koltim tidak tepat dan diskriminatif, dan tentu saja gagal, baik secara program maupun secara regulasi karena dalam peraturan (Perpres) itu jelas,” jelasnya.
Potensi Konflik
Spirit reforma agraria tentu saja dapat dilihat sebagai jawaban di tengah ketimpangan kelas dalam masyarakat; memberi ruang bagi kelas-kelas kecil untuk memperoleh kesempatan-kesempatan yang sama dalam mengolah sumber-sumber agraria.
Namun, bagi Torop sendiri, apa yang terjadi dalam pelaksanaan reforma agraria di Koltim justru menimbulkan soal-soal baru.
“Padahal ‘kan dalam reforma agraria itu mesti jelas. Pertama, ia harus menyelesaikan konfliknya jika itu memang berkonflik. Kedua, bisa menjawab soal krisis lahan. Artinya, krisis lahan yang terjadi di sekitar lingkungan itu,” katanya.
Sebagaimana dalam skema reforma agraria, terkait penempatan subjek maupun objek, kata Torop, harusnya partisipatif. Seperti melibatkan tokoh-tokoh, melibatkan keterwakilan masyarakat, entah Serikat Tani maupun elemen terkait.
Lebih jauh, dengan tidak dilibatkannya masyarakat dalam pembuatan sertifikat, dan penguasaan tanah tersebut yang — tidak lagi sebagai indikasi — dikuasai elite-elit lokal, ini bisa berakibat pada terjadinya konflik horizontal.
Oleh karenanya, saya pikir, lanjut Torop, pihak Kanwil BPN harus melihat itu secara utuh. “Dan tidak bisa kemudian pihak BPN mengklaim ini sebagai keberhasilan.”
“Ini harus dievaluasi,” lanjut Torop, “jangan sampai terjadi di lokasi-lokasi lain yang hari ini belum dilakukan itu. Karena ketika cara-cara ini tetap dilakukan, saya pikir reforma agraria itu gagal.”
Sebagai penutup, mengingat ada sebagian lahan yang belum diredis, kata Torof, dalam pelaksanaan berikutnya, pihak ATR/BPN Koltim mesti mempertimbangkan aspek partisipatif mayarakat, usulan dari KPA, ForSDa dan elemen yang terafiliasi mesti menjadi prioritas.
“Sebab jika tidak, potensi konflik dalam masyarakat bukan tak mungkin akan terjadi,” pungkas Korwil KPA Sultra itu.***