Tanah untuk Garapan : STN Bersama Masyarakat Tani Tinondo Reclaiming Lahan Ulayat
4 min read
Setelah hampir menjelang setahun terlepas dari upaya dominasi korporasi perusahaan sawit atas lahan ulayat dan garapan warga, Masyarakat Tani Tinondo yang sebelumnya berhasil menahan laju ekspansi sawit terhadap kurang lebih 75 ha lahan mereka kini harus berhadapan dengan oknum-oknum mafia tanah. Dugaan ini terkuak setelah adanya pihak-pihak yang mengaku mempunyai dan membeli sertifikat diatas lahan-lahan ulayat tersebut namun dengan prodesur kepemilikan yang janggal. Sertifikat tanah itu akhirnya dinilai sebagai sertifikat siluman, cacat administrasi alias tidak memiliki kejelasan administratif.
Anwar, selaku petani yang telah lama mempertahankan tanah garapannya terhadap upaya perusahaan memperluas lokasi perkebunan sawit dilahan garapannya itu bertutur tentang awal kemunculan sertifikat yang diduga siluman itu. Kuat dugaan oknum telah mengambil fotocopy serifikat tanah yang sebelumnya dimiliki perusahaan diatas tanah ulayat itu untuk kemudian diklaim atau diperjualbelikan kepada warga trans yang berminat memiliki lahan tersebut.

“Setelah dibebaskan dari perusahaan lahan ini munculmi serifikat-sertifikat itu, ini dari mana kenapa langsung ada yang punya sertifikat itu” keluhnya kepada media ini disela aksi reclaiming itu (10/06/2020).
Diakuinya bahwa paska pelepasan dari pihak perusahaan, lahan itu kemudian telah mendapat isin dari pemerintah Kelurahan Tinehi untuk perusahaan sawit sekedar mengambil kayu bongkahan dari pohon-pohon yang telah digusur sebelumnya. Namun dalam perjalanannya, lahan tersebut belakangan dikapling-kapling menggunakan alat berat oleh pihak yang mengaku memiliki sertifikat atau membeli sertifikat.

Gustam, adalah tokoh adat mewakili warga pewaris tanah ulayat rumpun H. Koymuddin yang kemudian bersikeras mempertanyakan keberadaan sertifikat tanah yang diduga siluman itu. Diatas kurang lebih seluas 75 ha lahan warisan orang tua dan leluhur mereka itu kini telah dikomersilkan oleh oknum. Hal ini menjadikan pihak masyarakat ulayat bergerak melakukan pembelaan agar tanah mereka tidak dijadikan objek bisnis oleh pihak manapun. Ditegaskan pewaris ulayat, lahan tersebut adalah untuk penggarapan petani, untuk penghidupan mereka dengan bercocok tanam dan mengembangkan usaha pertanian mereka. Bukan untuk diperjualbelikan.
“Tidak pak, kami hanya beli saja sertifikatnya, dan kalau lokasi kami hanya ditunjukkan saja dari jauh, bagian sana” ujar seorang warga trans sewaktu jurnalis bertanya terkait detail lokasi lahan 2 sesuai sertifikat tanah yang mereka beli.

Demikian faktanya, warga trans yang membeli sertifikat tanah itu tidak benar-benar paham dan tahu posisi tanah yang mereka beli. Hal ini menurut Gustam, disinyalir sebagai modus pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dibaliknya. Betapa tidak, mereka yang telah membeli itu ditawari dengan kesediaan mengeluarkan sejumlah uang untuk jika berkeinginan membersihkan lahan tersebut dengan menggunakan jasa alat berat. Atas hal ini, warga rumpun yang sebelumnya tidak mempersoalkan jika adanya warga yang memanfaatkan lahan untuk sekedar ditanami dan mencari penghidupan justru berbalik mempertanyakan maksud dari tindakan itu.
Terhadap indikasi ini, masyarakat tani yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Kolaka Timur dan pihak pewaris ulayat itu bakal menindaklanjutinya dengan melakukan pertemuan bersama pihak pertanahan dan mantan bupati yang menjabat kala itu agar tidak terjadi kesalahpahaman dan konflik antar sesama warga. Reclaming yang didampingi aparat Babinsa, mantan kepala desa dan mantan pelaksana camat Tinondo bersama masyarakat adat dan tani lainnya ini (10/06/2020) dilakukan bukan pula untuk mengambil paksa lahan yang telah sebelumnya diperjual belikan oleh oknum, melainkan untuk dengan secara damai memperjelas legalitas kepemilikan lahan masing-masing pihak.

“Pengukuran kami ini bukan untuk mencari siapa yang benar siapa yang salah, namun untuk menemukan apa yang keliru. Untuk memperjelas supaya tidak terjadi konflik yang berkepanjangan kedepan nanti” Ujar Gustam, mantan Kepala Desa Tinondo ini.
Penempatan lokasi transmigrasi di Kecamatan Tinondo ini juga menjadi dalih. Diduga oknum oknum tertentu memperjualbelikan lahan ini dengan berdasar pada sertifikat lahan 2 Transabandep di kelurahan Tinengi dan desa Talata tahun 1996, Sementara, berdasarkan pengakuan mantan pelaksana camat dan mantan kepala desa yang menjabat kala itu, tidak ada data pertanahan yang masuk dalam administrasi pemerintahannya terkait pengadaan sertifikat lahan 2, terlebih lagi pembagiannya kepada warga. Diduga Koordinasi terkait pengadaan sertifikat itu sengaja tidak melibatkan pemerintah desa dan camat kala itu.

“Jadi intinya adalah sertifikat yang keluar di tahun 1996 itu, siapa yang membagikan sertifikat itu, siapa yang menunjukkan lokasi 2 itu, selama saya menjabat tidak ada data yang masuk terkait pengadaan sertifikat itu, tidak pernah saya membagikan sertifikat itu, mestinya pembagian sertifikat itu harus melalui koordinasi dengan saya selaku pemerintah desa saat itu” tegasnya.
Lebih jauh, Gustam menyebutkan terdapat kejanggalan dalam sertifikat-sertifikat itu. Sebagai sebuah dokumen penting, sertifikat tanah harusnya tidak tampak dimanipulasi isi redaksinya. Namun yang terjadi adalah nampak jelas bahwa redaksinya terlihat diketik ulang setelah digandakan oleh oknum yang ingin mengambil keuntungan dibaliknya.
Seperti penjelasan sebelumnya, masyarakat tani dan rumpun ulayat ini kembali menegaskan bahwa lahan tersebut dipertahankan bukan untuk kemudian dijual kepada pihak manapun apalagi kepada pihak perusahaan alias dikomersilkan. Lahan yang sebelumnya adalah lahan sagu peninggalan leluhur ini semata-mata untuk tempat penghidupan masyarakat tani setempat dengan mengembangkan usaha pertanian mereka sendiri.(*)