Tuntut Hak, Masyarakat Tani bersama STN Sultra Blokade Akses PT MS
4 min readMasyarakat Tani Desa Motaha dan Lamoen Kecamatan Angata kabupaten Konawe Selatan, akhirnya memblokade akses jalan menuju lahan perkebunan milik korporasi tebu (31/05/2020). Massa rakyat yang tergabung dalam Front Rakyat Masyarakat Tani Desa Motaha Lamoen Bersatu (FRAMATAL BERSATU) ini melalui surat somasinya meminta kepada perusahaan tebu PT Marketindo Selaras untuk tidak melakukan kegiatan apapun di lokasi itu.
Pasalnya, kesepakatan harga ganti rugi lahan yang dibuat di Lambuya 16 Desember 1996 antara warga, Pemda Tk. II Kendari dan PT. Sumber Madu Bukari (SMB) sebagai perusahaan pertama yang beroperasi saat itu belum juga melunasi tanggung jawabnya. Dari ketentuan harga 300 Rupiah per meter warga petani hanya mendapat 100 Rupiah saja sebagai panjar. Itupun, berdasarkan pengakuan, pihak perusahaan kala itu membayarkannya dengan cara sedikit memaksa. Mereka yang kemudian merasa terjebak hanya bisa menerima keadaan itu sambil berharap dapat segera dilunasi. Meski demikian, hingga PT SMB pailit lalu digantikan oleh PT MS, sisa ganti rugi dari lahan itu tidak kunjung tiba ditangan warga petani.
Karenanya dan tanpa terkecuali, berdasarkan hasil musyawarah masyarakat tani Desa Lamoen dan Motaha Tanggal 29 April dan Tanggal 27 Mei 2020 beberapa waktu lalu itu, masyarakat petani bersama elemen-elemen organisasi petani dan agraria itu bersepakat untuk mengambil alih dan menguasai kembali lahan tersebut.
Betapa tidak, Hal ini juga justru diperparah akibat belum adanya realisasi dari bakal berdirinya Pabrik Tebu yang sebelumnya telah dilegitimasi dengan adanya Surat Kesepakatan Rapat Percepatan Industri Gula Di Kabupaten Konawe Selatan Pada Tanggal 25 Juli 2017 yang tandatangani di ruangan Direktur jendral Perkebunan Kementerian Pertanian Di Jakarta.
“Kami bersikukuh menguasai dan mengambil alih kembali lahan ini, dari kesepakatan ganti rugi 300 Rupiah itu yang diterima hanya 100 Rupiah, sisanya sudah cukup lama belum juga dibayarkan. Untuk diketahui, saat itu warga petani seakan dipaksa untuk menerima 100 rupiah saja dengan dalih panjar. Tapi sampai saat ini belum juga terbayarkan sisanya. selain itu pabrik tebu yang katanya akan dibangun juga belum ditindaklanjuti, pihak perusahaan ini belum menujukkan itikat baiknya” terang Ashudin, Ketua Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional (KPW STN) Sultra yang juga merupakan Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sultra ini kepada jurnalis media ini.
Disebutkan, perusahaan tebu PT Marketindo Selaras yang memiliki Luas Lahan 3.389 Ha itu, masih membutuhkan Jaminan Tambahan Lahan Seluas 6.500, Ha. Kesepakatan selanjutnya untuk Membangun Pabrik Gula Dengan Kapasitas Minimal 4.000 TCD, Sampai Saat ini belum juga Menunjukkn Progres yang berarti.
Tidak saja atas dasar Surat No. 02/FB/V/2020 Tentang Permohonan Pengembalian Lahan Masyarakat Desa Motaha dan Lamoen Kepada Bupati Konawe Selatan, Serikat Tani Nasional (STN), Alianasi Masyarakat Tani Motaha Lamoen, HIPMAD sultra yang terhimpun dalam fron ini juga melakukan aksinya setelah melayangkan Surat No. 01/FB/V/2020 Tentang Permohonan Penghentian Proses Penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Marketindo Selaras Kepada Kementrian ATR/ Badan Pertanahan Nasional.
Padahal, Pasal 42 dari UUD No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan Kegiatan Usaha Budi Daya Tanaman Perkebunan Dan/Atau Usaha Pengolahan Hasil tanaman perkebunan, Hanya Dapat Dilakukan Oleh Perusahaan Perkebunan Apabila Telah Mendapatkan Hak Atas Tanah (HGU) Dan/ Atau Izin Usaha Perkebunan.
“Kan sudah jelas tertuang dalam UUD No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan Kegiatan Usaha perkebunan itu dapat dilakukan Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan Hak Atas Tanah atau HGU, sampai sekarang kan hal itu belum jelas juga” tegas Kusno, Koordinator Aliansi Masyarakat Tani Motaha Lamoen saat diwawancarai Suara Pinggiran.
Disisi lain, Pelaksanaan Ketentuan Hak Guna Usaha tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya Pelepasan Hak atas tanah yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Faktanya, persoalan HGU perusahaan ini juga masih menjadi hal yang kabur.
“Maka berdasarkan poin poin itu semua kami masyarakat tani Desa Motaha dan Lamoen kecamatan Angata, meminta kepada Pimpinan PT. Marketindo Selaras untuk tidak nelakukan kegiatan apapun di lokasi kami yang pernah dikuasai PT. SMB” tegas Suhadi Aswad, Kordinator lapangan aksi fron kepada media ini dikesempatan yang sama.
Lebih jauh, Himpunan Pemuda Pembangunan Desa (HIPMAD) Sultra, melalui ketuanya, Surlan, SM sebagai anggota fron perjuangan ini juga menegaskan apabila Surat peringatan atau somasi yang telah mereka layangkan itu tidak diindahkan maka besar kemungkinan massa masyarakat petani akan turun aksi lagi dengan jumlah yang lebih. Dikhawatirkan, sejarah konflik tahun 1998 yang berujung terbakarnya kantor PT. Sumber Madu Bukarikala itu bisa terulang kembali.
“apabila pihak PT. Marketindo Selaras memaksakan kehendak melakukan aktifitas penggusuran lahan masyarkat pada wilayah Desa Lamoen dan Motaha maka kami dengan massa yang lebih banyak akan kembali melakukan aksi-aksi menuntut hak-hak kami. Yang kami khawatir akan terulang sejarah ditahun 1998 akibat konflik ini yang menyebabkan terbakarnya fasilitas kantor, dan peralatan lainya milik PT. Sumber Madu Bukari. Tentu saja itu semua tidak kita inginkan bersama terulang” tukasnya.
Ditempat berbeda, Sarkun Mokora, salah satu tokoh petani setempat yang juga telah lama memperjuangkan hak-hak petani dalam kasus ini sangat berharap persoalan ini dapat segera terselesaikan dengan adil. Menurutnya, persatuan dan solisaritas beberapa elemen masyarakat seperti tokoh adat, organisasi petani dan lembaga pemerhati konflik-konflik agraria yang ada sangat perlu diperkuat untuk tetap mengawal kasus ini tidak saja di level pemerintahan provinsi dan kabupaten, tetapi juga ditingkat kewenangan pemerintah pusat.
“Semua harus bersatu, supaya hak-hak rakyat ini tidak terus diinjak-injak oleh oknum perusahaan. Perampasan hak-hak ini harus terus dilawan termasuk mereka para tokoh adat, harus memperjuangkan hak-hak ulayat itu sampai ke pemerintah pusat” ujarnya. (*jm)