Sprindik Dugaan Mafia Tanah dan Kejahatan Jabatan atas Dampak Pembangunan Bendungan Ameroro Diminta Segera Terbit
3 min readSuara Pinggiran, Konawe –
Laporan dugaan tindak pidana mafia tanah yang dilakukan dengan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan diatas objek tanah Walaka Ngginiku milik Almarhum H. Hasan alias H. Puo-puo berlanjut ketahap berikutnya.
Kuasa ahli waris Walaka Ngginiku, Muhammad Azhar, kepada media ini menkonfirmasi hal tersebut pada Rabu kemarin (22/05/2024) di Kendari.
“Saat ini kami dalam tahap penyampaian barang bukti sehubungan laporan dugaan tindak pidana mafia tanah yang dilakukan dengan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan di atas objek tanah Walaka Ngginiku milik Almarhum H Hasan alias H Puo-puo” terangnya.
Tahap penyampaian bukti tersebut disampaikan sehubungan dengan laporan sebelumnya tertanggal 5 Mei 2024 di kejaksaan Negeri Konawe di unaaha.
“Maka untuk pemenuhan bukti permulaan yang cukup guna serangkaian penyelidikan dan penyidikan oleh Kejaksaan Negeri Konawe pihak kuasa hukum Ahli Waris Walaka Ngginiku menyampaikan fakta-fakta/bukti yang dipandang perlu guna pemenuhan alat bukti demi percepatan proses hukum dalam kasus ini” tegasnya lagi.
Dalam keterangannya, berdasarkan surat penyampaian bukti itu, Muhammad Azhar menduga kuat adanya kecurangan dalam pendataan, verifikasi dan validasi lahan masyarakat. Substansinya yakni keberatan kepala Desa Tawarotebota dan Kepala Desa Amaroa terkait tidak terlibatnya perangkat desa mereka dalam tim dan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sultra No. 649 tahun 2019 terkait letak lokasi pembangunan Bendungan Ameroro yang yang meliputi tiga desa (Tamesandi, Amaroa dan Tawarotebota)
“Bahwa pemalsuan data-data atau keterangan yang dilakukan terlapor dalam kasus ini sebagaimana telah kami sampaikan sebelumnya, itu mereka lakukan untuk menghilangkan hak-hak masyarakat khususnya pemilik hak adat diatas tanah Walaka Ngginiku tersebut” imbuhnya.
Selain itu, Azhar juga menegaskan alat bukti berupa surat rekomedasi DPRD Konawe kepada Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari dan Ketua Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Bendungan Ameroro untuk segera menyelesaikan proses penyelesaian dampak sosial masyarakat sesuai amanah Perda No. 4 tahun 2020 tanpa adanya sengketa perbatasan sebagaimana yang dipicu akibat lahirnya Perbup No. 70 tahun 2021.
“Acuan batas desa adalah peta BIG, dimana itu harus menjadi dasar dalam penanganan dampak sosial dalam area genangan sebagaimana amanah Perda No. 4 tahun 2020. Jadi bukan malah mengacu pada Perbup No. 70 tahun 2021” tegas Muhammad Azhar yang juga merupakan Ketua Devisi Hukum dan HAM Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM).
Berdasarkan pasal 1 angka 2 KUHP, lanjut Azhar, maka dengan hadirnya barang bukti yang disampaikan, telah memenuhi unsur “diduga kuat dan atau patut diduga” untuk APH dapat mencari serta mengumpulkan bukti tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangka dibalik kisruh ini.
“Maka demi percepatan dan penyelamatan keuangan negara dari tindakan kejahatan dalam jabatan maka pelapor perkara ini segera dikeluarkan Surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) sebab kisruh ini telah melahirkan konflik sosial ditengah masyarakat” tutupnya.
Untuk diketahui, Surat kepada pihak Kejaksaan Negeri Konawe berupa penyampaian barang bukti sehubungan laporan dugaan tindak pidana mafia tanah yang dilakukan dengan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan di atas objek tanah Walaka Ngginiku ini juga akan kembali ditembuskan ke Komnas HAM RI, Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra, Kepala BPKP Perwakilan Sultra, Ketua Lembaga Adat Tolaki (LAT) dan ke beberapa pihak penting lainnya.
Hingga berita ini terbit, upaya konfirmasi via WhatsApp media (22/05/2024) kepada masing-masing Ketua Satgas Pembangunan, Ketua Tim Penanganan Dampak Sosial Pembangunan Bendungan Ameroro beserta anggotanya belum juga mendapatkan jawaban.(*)
Laporan : Redaksi