Telisik Dugaan Penjarahan Uang Negara pada Proyek Bendungan Ameroro, Dari Manipulasi Hingga Intimidasi
3 min readKonawe, suarapinggiran.com
Kisruh dibalik Proyek Bendungan Ameroro kian memanas. Setelah diketahui tidak transparannya proses pembayaran ganti rugi lahan APL beberapa waktu lalu (27/12/2024) di Hotel Claro Kendari, sejumlah warga petani pemilik lahan mengeluhkan pelanggaran terhadap hak atas tanah mereka di area tersebut.
Tak hanya itu, Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Konawe kemarin, Senin (06/01/2024) usulan warga penerima dampak sosial justru tidak membuahkan penyelesaian. Warga penerima ganti rugi itu menolak kesimpulan identifikasi terhadap lahan dan tanaman mereka yang dinilai tidak adil, tidak transparan, sarat dengan dugaan korupsi, nepotisme, gratifikasi, manipulasi data serta intimidasi pemerintah setempat.
Dugaan manipulasi data lahan tampak dalam penetapan batas wilayah Surat Keterangan Tanah (SKT) milik ratusan warga petani yang terdampak dan berada di APL dan area Damsos tersebut. Batas-batas wilayah lahan mereka mengalami perubahan jelang proses pembayaran. Ironisnya, warga petani didesak untuk menandatangani surat keterangan dan pernyataan tanpa perlu bertanya lebih jauh.
Tak hanya itu, mereka juga mengaku dipaksa oleh pemerintah setempat untuk menyetujui hasil identifikasi tanaman tumbuh di lahan mereka yang nilainya sangat tidak relevan dengan fakta yang ada. Intimidasi oknum pemerintah setempat dilakukan dengan menekan pemilik lahan dengan dalih-dalih hukum dan keruwetan prosedural.
“Kalau tidak disetujui dananya katanya akan dititip di pengadilan, masa kami harus setujui ini pak, tidak sesuai, kami yang setengah mati disana, kami yang menderita disana empat tahun dan nenek moyang kami disana, masa kami harus biarkan tidak sesuai begini” keluh salah satu korban (Nama dan Identitas dilindungi UU Pers), kepada media ini, Selasa (07/01/2024).
Dugaan penjarahan uang negara dalam pelaksanaan pemberian santunan terdampak PSN ini tidak saja menetaskan diskriminasi, namun juga melahirkan perampasan hak asasi. Warga petani yang berhak atas tanahnya, berwenang menerima hasil jerih payahnya, dengan adil dan tanpa kehilangan andil, terpaksa menelan getir akibat haknya tidak diakomodir.
Sebagaimana yang dialami sejumlah petani yang lain dan terdampak di wilayah itu. Meski nama dan luasan lahan telah tertera pada daftar penerima santunan APL, namun faktanya, pihak BWS dan Satgas justru tidak melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan.
Bahkan, tidak transparannya pengukuran dan identifikasi lahan milik petani oleh pihak terkait tersebut telah memicu indikasi nepotisme didalamnya. Diketahui, luasan lahan milik petani yang telah berpuluh tahun mengolah kebun miliknya itu perlahan berkurang dengan indikasi sengaja dikikis melalui instrumen SKT yang baru oleh oknum Pemerintah Desa Tamesandi.
Sejumlah korban menyebut, kuat dugaan oknum kepala desa justru menyalahgunakan kewenangannya dengan mengakomodir kepentingan keluarga dan perangkat pemerintahan desanya yang notabene disebut tidak memiliki lahan di lokasi tersebut. Faktanya, sejumlah penerima santunan APL tersebut sebagaimana data penelusuran media ini adalah merupakan kerabat dan perangkat desa setempat.
“kami punya tanah ji mereka ambil ini, mereka iris, alasannya tanah negara, tapi akhirnya mereka kasih untuk istrinya, anaknya, aparatnya, banyak tanaman kopi kami yang mereka tebang untuk hilangkan jejak” terang salah satu korban yang juga dilindungi identitasnya, kepada awak media ini di waktu yang sama.
Dugaan korupsi berjamaah, kolusi, nepostisme, penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran HAM dibalik penanganan dampak sosial ini dinilai merupakan tindakan penjarahan kekayaan negara yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang memiliki peran, kewenangan, dan akses dalam menentukan keputusan, kebijakan, dan kontrak pada proyek-proyek strategis nasional, tidak terkecuali pada PSN Bendungan Ameroro itu sendiri.
Sejumlah korban ini, karenanya telah mengirim identitas pribadi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan perlindungan hukum mengingat kasus ini kabarnya tengah dalam proses pelaporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri, tembusan Kementerian terkait dan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) di Jakarta.
Sebelum berita ini diterbitkan, konfirmasi kesekian kali awak media terhadap pihak terkait dalam kasus ini juga belum membuahkan hasil.(*)
Laporan : Tim Investigasi