Dugaan Pelanggaran HAM Adat Walaka di PSN Bendungan Ameroro, PoskoHAM Surati Komnas HAM
3 min readSuara Pinggiran, Konawe –
Sengkarut kasus dibalik pembangunan Bendungan Ameroro semakin menjadi. Setelah bergulirnya dugaan mafia tanah dan kejahatan jabatan di Kejaksaan Tinggi Sultra dan Kejaksaan Negeri Konawe atas penanganan dampak sosial proyek strategis nasional itu, Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM) juga menyebut fakta terjadinya Dugaan Pelanggaran HAM atas hak ulayat Masyarakat Hukum Adat Tolaki di dalamnya.
Hal itu terungkap setelah diketahui keberadaan Tanah Walaka Ngginiku sebagai bentuk warisan budaya masyarakat hukum adat Tolaki di lokasi mega proyek itu terkesan dimarginalisasi secara masif dan terstruktur oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan berbagai modus.
Tidak hanya menyangkut hak partisipasi rumpun Walaka Ngginiku yang dikebiri, manipulasi data penerima dampak sosial yang tidak mengefakuasi hak rumpun ahli waris tanah ulayat itu juga menjadi bukti pelanggaran HAM dibalik status hukum formil yang telah sangat jelas diberikan negara terhadap masyarakat hukum adat dan tanah ulayat yang melingkupinya.
“Pengabaian dan ketiadaan pengakuan terhadap hak atas tanah bagi masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang telah tinggal menguasai tanah secara fisik dengan terus-menerus adalah bentuk pelanggaran HAM” tegas Jumran, S.IP, Ketua PoskoHAM kepada media ini (27/05/2024)
Ia menuturkan, negara dalam hal ini pemerintah wajib memastikan pemenuhan hak masyarakat lokal serta harus memperhatikan dan mengakomodasi pengetahuan komunitas dan masyarakat hukum adat, baik dalam bentuk data geospasial maupun pengetahuan lokal tentang ruang.
“Artinya bahwa Walaka Ngginiku ini sebagai bentuk pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Tolaki tentang ruang tidak bisa diabaikan begitu saja apalagi dilanggar, sebab secara konstitusional pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pemenuhannya jika tidak ingin dikatakan melanggar” tukasnya.
Lebih jauh, Jumran juga menerangkan bahwa negara dalam hal ini pemerintah wajib melindungi hak-hak adat atas hutan yang sedang menjadi objek konflik dengan pihak-pihak luar sekalipun belum ada pengakuan keberadaan dan pengakuan tanah ulayat, sebab menurutnya UUD NRI 1945 dan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 telah melegitimasi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.
Hal itu, lanjutnya, juga tertuang dalam Standar Norma Pengaturan (SNP) No.7 Tahun 2021 Tentang Tanah dan SDA dimana pemerintah wajib melindungi dan menghormati kekayaan sistem pengetahuan, SDA, dan sumber kehidupan ekonomi masyarakat hukum adat dari ancaman perusakan dan penghancuran sistematis dengan cara mendorong keadilan tata ruang dengan menemukan harmonisasi keterpaduan kebijakan dan regulasi masyarakat hukum adat dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dan norma HAM.
“Jadi pemerintah wajib melakukan harmonisasi dan keterpaduan kebijakan serta regulasi untuk menciptakan keadilan atas tata ruang kehutanan yang berperspektif HAM” tambahnya.
Untuk diketahui, Walaka Ngginiku sendiri telah diperkuat dengan alat bukti adanya kuburan dari Penjaga kebun H. Hasan/H. Puo-Puo yakni We Oloho (Keluarga Bapak Rasid) yang merupakan orang kepercayaan H. Hasan/H. Puo-Puo, selain rumah serta tanaman lainya sebagai ciri khas dari keberadaan tanah Walaka Ngginiku dalam etnis Tolaki.
Selain itu juga dibuktikan dengan surat Keterangan Kepemilikan Tanah Warisan Walaka Ngginiku Nomor 593/5/DA.1998 oleh Pemerintah Kecamatan Lambuya Desa Ameroro dan Surat Rekomendasi Nomor : 07/DPD-LAT/I/2016 oleh Dewan Pengurus Pusat Lemabaga Adat Tolaki (LAT) Sulawesi Tenggara.
Atas fakta tersebut, PoskoHAM bakal meminta kepada Komnas HAM melakukan pemantauan dalam kasus ini serta berharap APH dapat dengan tegas dan adil kepada semua pihak, termasuk kepada anggota TNI/Polri yang terbukti melanggar hak masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya.(*)
Laporan : Redaksi