Fakta Miris Dibalik Peresmian Bendungan Ameroro, Laporan Dugaan Mafia Tanah Bergulir di Kejaksaan
2 min readSuara Pinggiran, Konawe
Ditengah kesibukan Pemerintah Provinsi Sultra dan Kabupaten Konawe yang bakal menerima kunjungan Presiden RI dalam agenda Peresmian Bendungan Ameroro pada senin, 13 Mei 2024 mendatang, kasus dugaan mafia tanah justru terus bergulir.
Setelah pihak kuasa ahli waris Walaka Ngginiku menyurati Ketua DPR RI, Menteri ATR/BPN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BPKP, Menteri PUPR, Kepala Kejaksaan Agung RI, Ketua Komnas HAM RI, Ketua Ombudsman RI, Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra dan Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Konawe, tertanggal 05 Mei 2024 pihak kuasa ahli waris kini resmi menyampaikan laporan dugaan mafia tanah di proyek strategis nasional tersebut ke Kejaksaan Negeri Konawe.
“Saat ini sudah dalam proses penanganan Kejaksaan Negeri Konawe dengan tanda bukti laporan tertanggal 5 mei 2024” Terang Muhammad Azhar, Kuasa Ahli Waris Walaka Ngginiku kepada media ini (10/05/2024)
Ia menegaskan, pelaksanaan sebuah proyek seharusnya terlebih dahulu menyelesaikan ganti rugi lahan beserta dampak sosialnya yang berada dalam pembangunan mega proyek tersebut. Sebab menurutnya, tidak dibenarkan melaksanakan sebuah proyek kecuali telah selesai proses pembebasan lahannya.
Hal itu berdasarkan mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah dan juga dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2021 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sehingga lanjutnya, untuk menghargai hukum di negara ini, maka sepatutnya peresmian Bendungan Ameroro ditunda sampai dengan adanya keputusan hukum yang pasti atas kasus Dugaan Mafia Tanah didalamnya.
Kuasa ahli waris Walaka Ngginiku berharap semua pihak tanpa terkecuali dapat menghargai proses Hukum yang sedang berjalan di kejaksaan, termasuk Presiden Republik Indonesia.
“Sebab Negara ini negara hukum, mari kita sama-sama menjadikan Hukum sebagai panglima tertinggi dengan menghargai dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan” harapnya
Adapun Upaya penghilangan hak milik adat di atas tanah Walaka, Muhammad Azhar yang juga merupakan Ketua Devisi Litbang dan Hukum PoskoHAM telah mengefakuasi adanya dugaan kuat bahwa Perbup Nomor 70 tahun 2021 yang dikeluarkan Bupati Kery Saiful Konggoasa kala itu menjadi sandaran untuk memanipulasi data-data adminsistrasi terkai surat keterangan lahan garap yang dikeluarkan dengan membuatkan Surat Keterangan Lahan Garapan (SKGL) yang bukan penggarapa ataupun pemilik lahan Walaka.
Perbub itu berisi tentang perubahan wilayah adminsistratif Desa Taworetebota yang semula tanah Walaka masuk dalam wilayah Desa Tawarotebota. Namun karena kepala Desa Tawarotebota menolak mengeluarkan surat tersebut kepada orang yang bukan penggarap tanah walaka dan serta ahli warisnya maka tanpa diketahui terbitlah Peraturan Bupati Nomor 70 tahun 2021 tentang perubahan batas wilayah beberapa desa terkait.
“Perbup itu merubah wilayah desa walaka yang adalah wilayah Desa Tawarotebota, tiba-tiba menjadi wilayah Desa Tamesandi dan Desa Baruga. Bayangkan wilayah Desa Tamesandi harus melompati Desa Amaroa sebab Desa Tawarotebota bersebelahan dengan Desa Amaroa, barulah Desa Tamesandi, jelas ini tidak masuk akal” imbuhnya.
Menurut Muhammad Azhar, Perbu Nomor 70 tahun 2021 itu telah jelas cacat prosedural dan cacat yuridis. Sehingga menjadi hak kewenangan Kejaksaaan Negeri Unaaha untuk melakukan tindakan hukum lebih lanjut.
“Biarkan pihak kejaksaan bekerja sesuai tanggung jawab dan kewenangan yang dimilikinya. Tugas kita bersama adalah menghargai dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan” tutupnya. (*)
Laporan : Moh. Asmar