Kesalahan Perencanaan Kata Lain dari Penyalahgunaan Kekuasaan
6 min readOleh : Agussalim HM Arif
Tulisan Terahir Dari Tiga (III) Tulisan dan sebagai penutup dalam rangka Pencerahan Pemikiran dari prilaku Hedonisme Para Pengambil Kebijakan ( Top Level ) Anggaran APBN-APBD.
Tulisan pertama dan kedua akan menjadi sebuah parameter sekelumit terjadinya factor-faktor kesalahan Perencanaan yang berakibat pada lahirnya niat penyalah gunaan Kekuasaan dan penyelewengan kewenangan (abuse of power) pada lembaga Eksekutif, Legislatif dan Eksekutif bahkan sector swasta di negeri ini,penulis mengambil tema” Kesalahan Perencanaan Kata Lain Dari Penyalahgunaan Kekuasaan”tulisan terahir dari tiga tulisan ini adalah rangkaian penelusuran secara sistematis bagaimana gurihnya uang korupsi karena di mulai dari kesalahan perencanaan.
Menurut Conyers & Hills (1994) Definisi Perencanaan adalah sebagai suatu proses yang berkesinambungan mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.kemudian widjojo Nitisastro (1992) membagi bahwa Perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal.
Pertama, Penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkrik yang hendak di capai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang di miliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua menentukan pilihan di antara cara-cara alternative yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dari berbagai definisi tersebut,dengan mengunakan disiplin manajemen strategis,sekaligus berarti suatu system perencanaan pembangunan (daerah) minimal mengandung dua unsure utama, yaitu aspek tujuan pembangunan (yang ingin di capai) dan cara apa yang akan di lakukan untuk mencapainya (strategi pembangunan) termasuk bagaimana mengalokasikan dan mengorganisasikan berbagai sumber daya yang tersedia.
Dalam literatur klasik politik, adagium tentang kekuasaan yang selalu diajarkan di kelas-kelas ilmu politik dan hukum tata negara. Lord Acton misalnya menyatakan “power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut. Kalimat ini lahir dari trauma sejarah kekuasaan raja-raja di Eropa yang absolut, sehingga akhirnya kekuasaan yang absolut itu diakhiri. Walaupun faktanya rezim-rezim yang muncul pasca kekuasaan raja-raja pun juga terbukti korup. Tentu dengan modus dan gaya yang berbeda. Di dalam bentuk kekuasaan raja yang absolut, korupsi cenderung tersentral di lingkar raja dan istana.
Tapi di sebuah rezim dengan konsep modern state (diktatorial dan demokrasi), korupsi dilakukan secara lebih massif oleh penguasa dan para kroninya. Contohnya di zaman Rezim Orde Baru.Dengan kekuasaan yang dimiliki, mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dimiliki. Semakin besar kekuasaan, maka semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan tersebut dilakukan. Reaktualisasi dikotomi Kelembagaan yaitu Satuan Kerja yang mempunyai kewenangan perencanaan, dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Sebagai Perencana Pembangunan atau Kegiatan yang bersipat Proyek dan bagian Keuangan atau satuan kerja yang melaksanakan pungsi keuangan yang belum masa reformasi melaksanakan perencana pengeluaran rutin, keduanya mengalami masa reposisi. Dikotomi Bapeda dan Keuangan dalam proses perencanaan tahunan di hilangkan dengan memerankan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) sebagai pengambil keputusan yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran daerah. Hal inilah yang sering menjadi permasalahan di lapangan,ketika ’’ Kavling ” perencaan menunjukan bahwa “ leading sector ‘’ nya milik badan perencana daerah namun pengambilan keputusan harus melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah(TAPD). Praktek yang terjadi adalah bahwa pembahasan APBD dilakukan tanpa adanya kesepakatan KUA dan PPAS yang mengikat sehingga pembahasan menjadi berulang-ulang prosesnya dan tidak terstruktur sehingga waktu yang di korbankan menjadi lebih banyak,yang berarti mengorbankan kepentingan public. Instrumen Perencanaan dan Pengaggaran yang belum baik.
Permasalahan teknis adalah ketidak siapan instrumen perencanaan dan penganggaran yang di persyaratkan peraturan perundang-undangan demi terciptanya Transparansi,akuntabilitas dan penerapan anggaran berbasis prestasi kerja.Instrumen yang di maksut seperti standar satuan harga yang rasional di gunakan,standar analisis belanja,standar pelayanan minimal dan pedoman teknis yang di perlukan dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD. Penyusunan Instrumen tersebut kadang kala hanya merupakan kegiatan yang di laksanakan guna memenuhi persyaratan Undang-undang,namun kenyataanya banyak hasil dari penyusunan instrument tersebut tidak di gunakan pada saat penyusunan APBD.
Dalam perencanaan dan penganggaran APBD mengenai kegiatan penyusunan standar analisis belanja dan standar satuan harga, namun ternyata hasil kerja kegiatan tersebut tidak tercermin dalam penyusunan APBD karena para penyusun APBD tidak tahu atau bahkan menolak atau tidak menggunakan standar yang ditetapkan oleh kepala daerahnya sendiri.Hal lain yang menjadi perhatian khusus adalah belum terimplementasinya instrument standar analisis belanja,kasus penganggaran yang jauh dari prinsif transparansi dan akuntabilitas seperti penganggaran belanja yang masih bersipat “gelondongan” tanpa dirinci detail penggunaan persektor dan perseksi pada bagian dinas/Badan dan kantor.Pertanyaan yang kemudian lahir dalam benak halayak (public) yang di maksut dengan “Kesalahan Perencanaan Kata Lain Dari Penyalah gunaan Kekuasaan” adalah; Kesalahan Perencanaan merupakan prilaku in efisiensi penganggaran dalam berbagai kegiatan pada lembaga Pemerintah baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah yang erat kaitannya dengan Kebijakan Publik. Dengan demikian suatu kebijakan publik erat hubungannya dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah (organisasi sektor publik).Proses perumusan kebijakan dapat menerapkan berbagai macam model. Dalam hal ini,Rian Nogroho (2004) menyebutkan dua model perumusan.Pertama, model perumusan yang berorientasi pada masalah (problem oriented) meliputi model kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, inkremental, teori permainan, pilihan publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, maupun model strategis. Kedua, model perumusan yang berorientasi pada tujuan (goal oriented) di mana kegiatannya mencakup penetapan tujuan yang hendak di capai dalam jangka waktu tertentu. Titik pokus yang mejadi sorotan terjadinya kesalahan perencanaan yaitu implementasi atas kebijakan otonomi daerah yang memiliki beberapa sudut pandang. Pertama, sebagai sebuah formulasi kebijakan publik, otonomi daerah merupakan sekumpulan ide yang telah di bentuk baik oleh bukti di lapangan maupun berbagai konsep yang di bentuk oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian,pusat ide otonomi daerah bukan berada di level daerah. Kedua, alternatif atas kerangka operasionalisasi kebijakan merupakan pilihan dari sekian banyak pertarungan ide dan kepentingan buat para pelancong politik yang hendak merealisasikan janji-janji politiknya.
Hal ini mengimplikasikan bahwa suatau kebijakan yang di ambil juga merupakan titik temu atas berbagai tarik ulur dari tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Ketiga, Implementasi kebijakan otonomi daerah maupun yang di gerakkan secara “top-doun” sepenuhnya melalui pranata hukum administrasi Negara dan proses politik menyertainya antara dinamika di tingkat atas (pemerintah pusat) dan di daerah-daerah. Keempat, berbagai pranata hukum dan institusi terus di lengkapi, baik secara sistematis maupun tambal sulam sebagai satu kesatuan. Bergulirnya konsep “new publik management’ memberi konsekuensi adanya keseriusan pemerintah pusat dalam menetapkan regulasi di bidang keuangan daerah yang harus di mulai dengan penataan perencanaan dan penganggaran daerah yang lebih terstruktur, sistimatis dan konsisten dengan prinsip “good governance”. Model perencanaan dan penganggaran konvensional atau sering di kenal sebagai sistem Tradisioanal yang di anut pada masa orde baru telah memberi warna dan sedikit banyak menjadi suatu budaya negatif yang harus di ubah secara bertahap. Perencanaan dengan pendekatan penganggaran tradisional menjadi ujung pangkal permasalahan yang mendasar dalam konteks pelaksanaan “new publik management” Permasalahan yang umumnya di hadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah terkait dengan perencanaan dan penganggaran yang dapat menggiring kepada proses terjadinya pada penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan kewenangan. Faktor lain selain apa yang telah saya sajikan yang menggerayangi pemikiran terjadinya kesalahan perencanaan pada institusi pemerintah Pusat dan Daerah adalah :
(1). Diskresi. Secara etimologi diskresi sebagai suatu kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Diskresi dianggap sebagai kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara tegas, demi kepentingan umum (public interest), dan masih dalam batas wilayah kewenangannya. Jadi pada dasarnya diskresi merupakan kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Diskresi dapat mengantarkan banyak penyimpangan penyusupan Program tanpa melakukan sebuah rizet kepada masyarakat yang membutuhkan sebuah kegiatan.
(2) Penyusupan Program yang terindikasi pada terjadinya Kesalahan Perencanaan adalah mereka orang-oarang pernah menjadi Tim sukses pada pemlihan Legislatif dan Eksekutif bahkan yang memiriskan hati bagi Rakyat tidak terlepas dari peran Koorporasi kakap Domestik dan Mancanegara. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah seberapa jauh pengaruh kesalahan perencanaan di tinjau dari aspek kekuasaan ialah ; -Penyelenggaraan Pemerintahan akan mengalami dinamika programatik pengembangan kapasitas Demokrasi dalam rangka menuju Indonesia sejahtera lahir dan batin secara Struktural-fungsional dalam imflementasi sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.-Indentipikasi substansi kelembagaan sehubungan eksperimentasi kewenangan akan menjadi lamban tertangani jikalau alasan otonomi daerah sebagai virus tambal sulam atau tarik ulur kepentingan pusat di mana daerah menjadi objek sample kasus korupsi masih mengahadang di tengah jalan.
Oleh karena itulah dalam konsep negara modern separation of power mekanisme seharusnya dilengkapi dengan checks and balances agar ada yang mengimbangi dan terus mengawasi kekuasaan lembaga lain.Demikian tulisan ini sebagai penutup dari tiga tulisan mudah-mudahan bermamfaat bagi kelangsungan perbaikan system kelembagaan pada pungsi pengawasan terhadap semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah kita khususnya.
Wallahu ‘alam bishawwab.