Honor Tak Kunjung Dibayar, Aparat Desa Ini Pilih Jadi Buruh Bata
5 min readUntuk kesekian kalinya, ada perasaan yang sama ketika memasuki desa ini. Tidak begitu menyegarkan meski matahari baru saja menampakkan sinarnya. Kesan gersang perkampungan ini nampak mengurat dengan tanah merah kering bebatuan di ruas jalan dan pekarangan rumah penduduknya.
Petak-petak sawah juga tiada menunjukkan sudut pandang mata yang menyejukkan dengan hijau kuning padinya. Layaknya sawah tadah hujan, demikian adanya, bahwa musim panen ria petani di desa ini hanya tergantung dari curahan air langit itu. Tak ada irigasi.
“Pokoknya warga disini dihitung-hitung jari saja yang rumahnya rumah batu, itupun bukan karena mereka mampu beli, tapi rata-rata karena masing-masing itu cetak batu bata sendiri, ya hanya sekitar 20 persen lah yang dibilang mampu, yang lainnya itu masih dibawah garis kemiskinan” ujar seorang ibu rumah tangga kepada media ini (22/05/2020)
Jawaban itu, polos terucap begitu saja ketika media ini mencoba memulai pertanyaan seputar tingkat kesejahteraan warga setempat dalam kacamata mereka sendiri. Tanpa embel-embel analisis ilmiah sosial ekonomi dan politik tentunya. Bermodal kekerabatan, kondisi kemiskinan dan ketidakberdayaan sebagai sesama warga dapat dengan mudah dikenali tanpa teori-teori tertentu lantaran kentalnya interaksi kekeluargaan antar mereka di setiap harinya yang nampak serba pas-pasan itu dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Meski berbeda keyakinan, perempuan yang juga merupakan istri dari seorang perangkat desa ini nampak akrab berbincang dengan seorang nenek bernama Ketut Nendri saat ditemui di gubuk-gubuk penggembalaan sapi. Keduanya adalah warga Desa Ulumeraka, Onembute, kecamatan di Konawe yang berbatasan langsung dengan kabupaten Kolaka Timur.
Keluh kesah keduanya seragam. Terlebih ketika memperbincangkan Pandemi Covid dengan soal bantuan pemerintah. Seperti sedang meneguk oase, mereka merasakan pertolongan BLT itu seolah-olah penyambung satu-satunya bagi persoalan hidup mereka esok.
Fakta kemiskinan mayoritas penduduk desa ini tak berlebihan. Berharap harap banyak mendapatkan perhatian melalui suntikan dana seperti yang dimaksud itu adalah indikator betapa kesulitan memenuhi kebutuhan dasar benar-benar menerjang mereka yang hanya mengandalkan diri pada kekuatan otot sebagai petani kecil, buruh tani dan buruh batu bata.
Adalah hanya bagi mereka yang berani memastikan pembayaran cicilan dari modal uang tunai yang mereka pinjam dari lembaga perbankan, yang kemudian dapat mendirikan usaha di desa ini. Berdagang, bertani, atau membuat usaha batu bata, dimulai dengan mekanisme berutang seperti itu. Namun dengan satu catatan, mampu membayar cicilannya. Karenanya, meski memiliki sertifikat tanah, sebagian besar warga lebih memilih menjadi pekerja serabutan karena ketidakmampuan itu di tengah kondisi pekerjaan yang serba tidak pasti.
“Itu ada disini beberapa yang punya usaha bangsal membuat batu merah itu dia harus minjam dulu di bank baru buka usahanya itu. Terus dia pekerjakan orang untuk jadi buruh disitu, termasuk suami saya buruh disitu, pegang-pegang lumpur dan diinjak-injak lumpurnya itu dijadikan bata” tambahnya lagi.
Enggan Lagi Menunggu Honor, Aparat Desa Ini Kembali Jadi Buruh Batu Bata
Posisi suami ibu satu anak ini disetiap pergantian kepala desa selalu sama. Meski hanya sebagai aparat desa, mereka mengaku sangat bersyukur bisa mendapatkan honor dari kerja tersebut. Tak seberapa dan pas-pasan saja untuk menjamin kebutuhan dasar kelurga kecil mereka.
Jika dibanding dengan hasil berlumur lumpur dengan mencetak batu bata, menjadi aparat desa dinilai lebih menjanjikan dengan turut membantu kepala desa mengurusi hal-hal administratif terkait kesejahteraan penduduk desa setempat.
Terlebih lagi, menjadi buruh batu bata dipandang bukan saja rutinitas yang kasar sekaligus jorok, tapi juga sangat menguras tenaga suaminya yang telah berusia 55 tahun itu lantaran harus mampu menyelesaikan 500 biji bata untuk mendapatkan uang sebanyak 35 ribu rupiah dalam sehari.
“Tapi kondisinya sudah begini mas, Kalau mau tunggu-tunggu honor aparat itu sampai kapan, jadi harus kerja yang lain saja, jadi buruh. Itu 35 ribu rupiah kalau bisa selesaikan 500 biji bata dalam sehari, ya bukan lagi capek mas itu bapaknya kalau kerja bata, tapi sudah gembor-gembor dia.” imbuhnya sembari tertawa kecil mengisahkan kerja keras suaminya.
Demikian adanya, setahun lebih sudah honor mereka sebagai perangkat desa belum terbayarkan oleh pemda. Ini juga menimpa warga yang memiliki posisi sebagai LPM, BPD, Imam Desa, Tokoh adat bahkan perawat desa. Besaran jumlah honor yang mencapai lebih dari 100 miliar dari akumulasi total 16 bulan untuk honor sekitar 5000 orang perangkat di 294 desa itu tak kunjung dikucurkan setelah untuk kesekian kalinya dijanjikan.
Padahal, persoalan hak aparat ini tidak saja tertuang sebagai keharusan dalam regulasi Undang-undang Desa untuk dibayarkan. Peraturan daerah Nomor 8 tahun 2019 tentang alokasi dana desa (ADD) kabupaten ini juga telah melegitimasi kewajiban pemerintah daerah terhadap hak-hak aparat desanya.
“Bapaknya itu sudah satu setengah tahun belum terima gajinya, kalau perbulan sekitar 700an honornya, tapi hanya datanya saja uangnya tidak ada yang diterima, sampai sekarang tidak ada, itu mungkin sudah dipakai pergi melamar si anu itu” keluhnya lagi.
Meski hal ini menjadi kisruh ditingkatan atas, tak ada pilihan lain bagi mereka yang notabene rakyat kecil yang berhak menerimanya selain berpasrah sembari kerja tanpa henti melawan belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka. Honor aparar desa yang tak kunjung tiba itu, justru melirik dan berubah wujud menjadi Horor “Jamila” (singkatan Jatuh Miskin Lagi), lantaran tekanan beban penghidupan keluarga tidak bisa dikurangi dari sekedar menjadi buruh tani dan buruh bata. Pupusnya harapan atas upah dan hak-haknya sebagai aparat menyebabkan kemiskinan pada sekian perjalanannya tetap menjadi ancaman sekaligus momok menakutkan bagi warga.
Seperti di beberapa titik desa atau perkampungan lain yang ada di Konawe, desa ini juga memiliki penguasaan sumber daya yang minim. Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan manajerial selain tidak luasnya jaringan sosial warga dan kurangnya kemampuan memperoleh informasi. Karena sekali lagi, basis material atau kemapuan ekonomi mereka berada di dasar terendah. Di luar tenaga fisiknya, warga miskin tidak memiliki cukup energi yang bisa dipertukarkan untuk meningkatkan kapasitas dirinya dalam upaya meningkatkan penguasaan sumberdaya itu.
“Disini rata-rata orang tuanya itu hanya tamatan SMP, Hanya satu dua orang saja yang bisa tamat SMA, ada juga yang hanya tamatan SD” tukasnya.
Betapa tidak hal itu menjadi fakta miris, waktu-waktu mereka untuk mendapatkan kemampuan dari hubungan-hubungan sosial di tengah interaksi sosial masyarakat, habis hanya untuk mememenuhi kebutuhan dasar setiap hari. Bertani, berdagang kecil-kecilan dan menjadi pekerja serabutan demi penghidupan keluarga. Jika tidak, perut mereka beserta anak cucu di dalam rumah akan selalu terpanggil suara-suara kelaparan. (*)
(Menjaga privasi sumber, nama tidak disebutkan sesuai permintaan)