Gubuk Reot dan Nyayian Sunyi Pak Tua
2 min readsuarapinggiran.online_ Mendung masih menghiasi langit pagi Kota Unaaha, saat tubuh yang mulai lemah termakan usia dan tertatih itu meroda gerobak pengangkut sampah. Perlahan menyusuri jalan aspal, sementara sang mentari masih malu-malu menampakan sinarnya.
Tak berlansung lama, sengatan matahari yang seakan marah itu kemudian membakar alam. Tapi sosok tua yang mulai rabun penglihatannya itu masih bertahan dengan semangat yang justru tak pernah padam.
Dialah Nurhadi (50), seorang warga Trans Asinua Jaya. Dia adalah potret kaum pinggiran yang akrab dengan kemiskinan di tengah kota. Ketegarannya menghadapi panas dan dingin di gubuk reot itu berubah menjadi nyayian sunyi setelah ternyata tak satupun orang yang menemaninya hidup. Nurhadi hijrah ke Kota tua ini untuk mencari sesuap nasi demi membahagiakan keluarga yang jauh darinya.
Tindihan beban ekonomi memaksa lelaki tua asal Karang Anjar, Solo, Desa Seroyo itu membuatnya harus berjuang keras untuk tetap menjaga semangat anak-anaknya dalam menyenyam pendidikan di sekolah meski tak sedang bersama-sama.
Saat Jurnal SUPI menghampiri dan menyapa, ia tersenyum ramah sembari menggerakkan tangan kanannya untuk bersalaman. Pancaran keakraban dengan tawa, memecah kesunyian dan kesendiriannya selama ini. Wajahnya yang kelelahan dengan gurat letih itu tak dapat menyebunyikan diri dari jerit kesulitan hidup yang harus dijalani.
“biasa dek, lagi atur-atur kertas bekas ini yang bisa di tukar uang untuk keperluan ini hari, walau saya sudah tua, tapi tetap bekerja memungut sampah, saya lebih malu meminta kepada orang lain, dibanding dengan kerjaan seperti ini, saya suka dan halal dek, pokok nya jangan malas kerja, kalau malas mau makan apa? Ya dulunya waktu masih kuat,, kerjaan saya hanya buruh, tapi sekarang usia saya sudah 50 tahun, tenaga saya sudah nggak kuat untuk berkerja sebagai kuli bagunan, ya harus gimana lagi, yang penting jangan mencuri’’ Ujarnya ramah.
Sebagai orang tua, ia tidak ingin berharap hingga memberatkan anak-anaknya yang sudah menikah, toh juga hidup dalam standar ekonomi pas-pasan. Pekerjaannya mencari kaleng-kaleng bekas juga kardus-kardus yang sudah dibuang setiap hari harus dilakoni.
Ia mengaku akan sangat sedih jika mesti mendengar anak bungsunya itu, tidak bisa jajan seperti anak-anak yang lain. Ia berupaya keras untuk dapat membantu keperluan istrinya yang berada jauh di kampung halamannya meski hanya cukup untuk membeli beras. Dibutuhkan waktu empat bulan lamanya untuk sekali melakukan pengiriman uang hasil kerjanya kepada keluarganya di tanah jawa sana.
Nurhadi harus rela menghabiskan masa tua dalam perjuangan panjang yang melelahkan mengadu nasib di onggokan sampah. Ia tetap harus menguras segenap tenaga yang tersisa demi segenggam beras dan rupiah.
Mentari mulai beranjak keperaduannya saat ia melangkah kembali mengatur karung-karung yang akan ia gunakan di tempat penampungan sampah. Ia hendak menyampaikan, rasa putus asa tidak akan sedikitpun menghalangi niat tulusnya. Esok, lusa dan mungkin nanti ia hanya akan kembali bergelut hidup dengan sampah-sampah. Saksi bisu kesusahannya. (*nawir)