Konflik Agraria Tak Usai, Visi Konsel Hebat Dinilai Sebatas Slogan
2 min read
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sultra menilai Pemerintah Konawe Selatan belum mampu menyelesaikan persoalan konflik agraria struktural dan problem problem agraria lainnya. Dalam lima tahun perjalanan kabupaten yang dinahkodai H. Surunuddin Dangga itu, Struktur penguasaan tanah justru semakin timpang akibat monopoli penguasaaan tanah oleh korporasi. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan skala luas dan pertambangan itu pula telah melakukan ekspansi sejak lama hingga mengakibatkan penguasaan tanah yang berlebihan atas kawasan hutan.
Torop Rudendi, Kordinator KPA Wilayah Sultra menyatakan hal itu dalam wawancara khusus bersama suarapinggiran.onlinean (12/11). Kisruh ini menurutnya, telah lama menjadi masalah krusial yang dihadapi masyarakat Konawe Selatan. Pembiaran terhadap situasi agraria ini telah berimplikasi terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat pedesaan.
“Ada indikasi pembiaran disini, konflik agraria semakin meluas dan berkepanjangan, kerusakan lingkungan serta rusaknya sektor pertanian rakyat terutama sektor pertanian pangan akibat konversi lahan pertanian secara besar-besaran untuk kepentingan investasi dan infrastruktur” terangnya.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sultra, 3.000 rumah tangga petani dengan luas hampir mencapai 7.000 hektar yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Konawe Selatan telah menjadi korban akibat konflik agraria tersebut.
“Data ini kami peroleh melalui investigasi langsung ke lapangan, pemberitaan media, serta laporan langsung dari warga”
Secara spesifik tipologi permasalahan agraria di Konawe Selatan itu adalah konflik agraria antara masyarakat vs perusahaan perkebunan swasta, masyarakat vs perusahaan pertambangan, masyarakat vs kawasan hutan, masyarakat vs masyarakat, ketiadaan lahan transmigrasi, konflik antar desa akibat ketidakjelasan batas desa, dan alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi fungsi lain seperti properti dan pertambangan.
Lebih jauh torop menyatakan, harapan besar masyarakat Konawe Selatan untuk mendapatkan keadilan dan peningkatan kesejahteraan hidupnya ternyata harus tersandera oleh ambisi oknum yang tidak bertanggung jawab.
“H. Surunudin Dangga sampai pada akhir masa jabatannya yang sama sekali tidak memiliki kemauan politik atau political will untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih berkedilan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria” tegasnya.
Visi menuju “Desa Maju Konsel Hebat” kemudian menurutnya hanya menjadi slogan tak bermakna dan sebagai ilusi kolektif yang mewarnai perjalanan Konawe Selatan. Pemerintahan Bupati Konawe selatan dinilai tidak meletakkan reforma agraria sebagai pondasi pembanguan di daerahnya dan lebih memilih untuk mempertahankan paradigma pembangunanya pada pertumbuhan ekonomi yang hanya mengedepankan kepentingan investasi.
“kepentingan investasi itu telah jelas-jelas menciptakan konflik agraria struktural, kemiskinan petani dan nelayan pedesaan, konflik sosial, krisis lingkungan dan semakin mengancam keberlanjutan pangan masyarakat” cetusnya lagi. (*)