Potret Kaum Papa di Kota Tua
3 min readPenulis: Nawir | Editor: Kp
Kehidupan adalah anugerah. Berputar maju bak roda yang tak pernah terhenti. Tempat proses menemukan makna dalam dialektika yang abadi. Disana kerasnya kehidupan melebur dalam harapan hingga menembus mimpi. Yang ada hanyalah keringat-keringat di ujung kening yang siap membasuh linangan air mata penderitaan mencari sesuap nasi.
Samadi (56), lelaki yang sejak muda berteman dengan kerasnya kehidupan itu menemukan cintanya. Ia begitu jatuh hati pada pekerjaannya meski serabutan. Tak peduli ia pada beratnya beban saat menjadi kuli bangunan, teriknya matahari saat mengayuh becak, enggannya pembeli melihat sayur jualannya, juga tak pernah ingin tahu seberapa jauh perjalanan sepeda tuanya saat jualan es keliling.
Semangatnya memecah semua bentuk ketakutan pada hilangnya harapan hari demi hari. Mungkin ia hendak menyampaikan pada isterinya, bahwa ia adalah lelaki yang tangguh. Juga mengisyaratkan nilai-nilai yang berharga dalam kehidupan kepada kedua buah hatinya.
“Saya sudah 15 tahun jualan es keliling di sini, dek, tapi sebelumnya saya bawa becak dan ngontrak rumah. Sekarang alhamdulillah sudah punya rumah sendiri walaupun kecil,” ungkapnya memulai perbincangan dengan senyuman semangat yang polos.
Di “Kota Daeng” 33 tahun lalu ia menginjakkan kaki perantauannya untuk pertama kali. Meninggalkan Klaten kampung halamannya hanya untuk menjadi buruh bangunan. Bercengkerama dengan aktivitas yang oleh sebagian orang adalah hal yang sangat menyusahkan.
Di sana ia bersama kaum papa lainnya mengais rejeki dari kerasnya kehidupan kota. Sampai tiba waktunya untuk belajar mengendarai becak dan kemudian mengambil pundi-pundi halal dari hasil mengantar para penumpangnya.
“Saya belajar bawa becak tiga hari, malam-malam, pertama bawa penumpang itu saya gemetar, sampai-sampai penumpangnya takut dan bertanya-tanya, saya bilang maklum pak masih belajar,” ceritanya sambil tertawa kecil.
Keputusan untuk menyeberang ke daerah Kabupaten Kolaka kemudian diambil setelah merasa lebih mandiri untuk hidup sebagai tukang becak di kota lain. Bertemu dan kembali bergelut dengan hari-hari para kaum papa disana sejak tahun 1991.
Bersama tiga kawannya, tiga tahun kemudian ia menginjakkan kaki di Unaaha, kota kecil di Kabupaten Konawe. Bertahan dengan segala keterbatasan dan hidup menumpang di rumah kerabat salah satu kawannya.
Bersama sang istri yang rela menemani dan berjuang hidup bersama beberapa tahun kemudian di kota ini mereka menjalani aktivitas serabutan sekalipun untuk bertahan dan mencari sesuap nasi. Menanam sayur di sebidang tanah lalu menjualnya, berkeliling menjual ikan, dan terus semangat mengayuh becak menawarkan jasa dari kekuatannya mengayuh pedal becak kesayangannya.
Enam Ribu Rupiah kala itu bernilai tinggi baginya meski faktanya keluarga mereka hidup pas-pasan. Butuh 30 penumpang untuk hasil seharian itu. Dan akibat beratnya beban hidup dengan penghasilan itu, 2 orang kawannya akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman mereka.
Seiring perjalan waktu dan perkembangan kota, jasa tukang becak kurang dibutuhkan lagi oleh kebanyak orang. Terlebih setelah jasa tukang ojek dirasakan lebih tepat untuk penumpang yang ingin cepat sampai ditujuan.
Maka sejak tahun 2000 lalu, ayah dari dua orang anak ini memutuskan untuk menjual es keliling demi menghidupi keluarganya hingga kini.
“Istri saya kerjanya di rumah makan di situ, kerjanya serabutan juga, kami harus semangat, karena anak saya juga satunya masih sekolah, yah harus selalu sabar-sabar dek.” imbuhnya dengan tetap tersenyum tanpa beban saat wawancara dengan media ini (04/03) pekan lalu.
Samadi, menemukan cinta dalam semangatnya. Pengorbanan dan Keikhlasan untuk keluarga telah mengajarinya tentang anugerah yang paling berharga dalam kehidupan ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah kesabaran. Dan keberanian menemukan bentuknya tepat di tengahnya. (SUPI)