Pupuk Langka : Spekulan Berjaya, Petani Tak Berdaya
2 min readKelangkaan pupuk bersubsidi terjadi merata di seluruh Indonesia. Berkurangnya pasokan pupuk membuat harga pun melonjak. Hal ini juga terjadi di Sulawesi Tenggara tepatnya di beberapa kabupaten yang notabene merupakan konsumen besar pupuk pertanian.
Di Kabupaten Konawe, kelangkaan pupuk serentak terjadi di Kecamatan Tongauna Utara, Wawotobi, Lambuya, Wonggeduku, Pondidaha dan beberapa kecamatan lain. Selain pada saar musim tanam, sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi ini juga terjadi di musim pemeliharaan tanaman.
Ferdi, salah seorang petani di Desa Kecamatan Tongauna Utara yang ditemui suarapinggiran.online (26/11) mengeluhkan kondisi ini karena dipandang sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha padi sawah miliknya dan petani-petani lain di desanya. Ironisnya, kondisi kelangkaan ini diikuti dengan tidak teraturnya pasokan pupuk bersubsidi yang masuk ke wilayah-wilayah yang ada.
“Waktu musim tanam kemarin pupuk urea sangat langka, saya bahkan ke kecamatan lain mencari pupuk. Itu kendala kami disini, karena disini di Kecamatan Tongauna Utara juga hanya ada dua saja pengecer resmi” keluhnya.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kondisi ini menurutnya sangat memprihatinkan, pasalnya, selain kelangkaan pupuk dan distribusi yang tidak teratur, petani di musim panen ini juga mesti berhadapan dengan cuaca yang tidak mendukung. Kemarau yang berpanjangan.
Walau sampai sekarang tidak pernah ada kejelasan memuaskan dari pemerintah, kelangkaa pupuk seperti ini disinyalir akibat sistem distribusi pupuk yang tidak mampu mengikuti dinamika perubahan kebutuhan dan kelembagaan pertanian dan konsumen pupuk.
Selain itu, seperti yang diungkapkan Jumran,S.IP, Direktur eksekutif Rumah Tani Indonesia (RTI) Kabupaten Konawe, Disparitas atau kesenjangan harga pupuk bersubsidi dengan harga aktual di tingkat lapangan memang terlalu lebar. Harga eceran tertinggi (HET) Pupuk Urea tahun 2019 misalnya adalah 1800 Rupiah per kilogram, sangat berbeda jauh dengan harga aktual di lapangan yang mencapai 3500 sampai 4000 rupiah per kilogramnya. hal ini menurutnya menjadi peluang yang sangat menggiurkan bagi oknum mafia pupuk di pasar komersil.
“Disparitas harga yang mencapai 100 persen ini menjadi lahan empuk bagi spekulan alias mafia pupuk di semua level untuk memperbesar peluang penyelewengan pupuk bersubsidi ke pasar komersial” tegasnya.
Menurutnya, hal itu pula terjadi akibat tidak adanya penindakan tegas terhadap para oknum distributor dan pengecer “dadakan” yang umumnya berafiliasi dengan para oknum elit ekonomi dan elit politik di suatu daerah.
Hal senada juga diungkapkan Muhammad Irvan Mahmud Asia, Direktur Eksekutif Nasional Rumah Tani Indonesia (RTI) Kepada suarapinggiran.online (26/11). Untuk kasus di Kabupaten Konawe, kelangkaan pupuk ini menurutnya menjadi sangat aneh mengingat daerah yang dikenal sebagai lubung beras di Provinsi Sultra itu kebutuhan pupuknya cukup tinggi dan lancar.
“Patut dicurigai ada oknum-oknum distributor pupuk yang menimbun dengan maksud mendapatkan marjin lebih besar dari perdagangan pupuk. Harusnya ini tidak terjadi, petani harus mendapatkan pupuk tepat waktu” tukasnya. (*)