“Lapar Tanah”, Omnibus Law Bahayakan Petani
2 min readAtas Nama Pengadaan Tanah Untuk Kemudahan Investasi, Omnibus Law Cipta Kerja Bahayakan Petani, demikian kata kuncinya. Draf yang populer dengan sebutan RUU Cilaka dan telah diserahkan pemerintah tanggal 12 Februari 2020 itu dinilai telah mengkhianati rasa keadilan dan justru mencelakai petani. Tidak tanggung-tanggung, ambisi besar dibalik itu mengangkut sekaligus 79 UU, yang dibagi ke dalam 11 kluster materi, untuk kemudian dihapus, dipangkas dan atau direvisi.
Betapa tidak, RUU Cipta Kerja itu ternyata tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh di Indonesia, namun juga sangat membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup dari petani, masyarakat adat, buruh tani, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan, lantaran dalih iklim investasi yang ramah itu terlalu digadang-gadang dengan hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis melalui investasi.
“dalih kesulitan memperoleh tanah untuk berinvestasi itu akhirnya dijadikan dalih penghancuran pembangunan berbasis agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur menjadi bagian dari sasaran RUU Cipta Kerja” terang Dewi Kartika, Sekjen KPA dalam pernyataa sikap dan Tinjauan Kritis Konsorsium Pembaruan Agraria atas RUU Cipta Kerja, di Jakarta, kemarin (20/02/2020)
Apabila disahkan, RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi krisis agraria, sebab kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis dalam RUU Cipta Kerja sangat berpotensi meningkatkan konflik agraria, ketimpangan dan kemiskinan struktural.
Jika sebelumnya wacana pembentukan lembaga Bank Tanah menjadi salah satu misi utama dalam RUU Pertanahan, misalnya, lalu kemudian mendapat penolakan publik lantaran hanya merugikan rakyat terutama petani, ternyata RUU Cipta Kerja justru memasukan kembali agenda Bank Tanah (BT) tersebut sebagai norma baru, dengan alasan pembentukannya adalah dalam rangka mempercepat proses pengadaan tanah untuk kepentingan investasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, pariwisata, bisnis properti, pembangunan infrastruktur yang notabene bersifat lapar tanah.
Anehnya, dalam RUU Cipta Kerja dilaim bahwa salah satu tujuan pembentukan BT adalah untuk kepentingan Reforma Agraria. Ini menurut KPA merupakan bentuk penyimpangan sekaligus penghianatan terhadap reforma agraria.
“Bagaimana mungkin tujuan reforma agraria bagi keadilan sosial dapat disandingkan dengan tujuan liberal BT” sikap KPA.
Selain dari beberapa poin yang menjadi temuan dan kritikan KPA seperti agenda Bank Tanah yang dimaksud itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai sedang berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli atau penguasaan tanah.
“RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis” tulis Sekjen KPA itu.
Mempertimpangan ketimpangan agraria yang ada, menurut KPA, Pemerintah sebaiknya tidak mengabaikan begitu saja keterkaitan norma hukum yang telah ada sebelumnya, yaitu di UUPA 1960 maupun UU Rusun.
KPA memandang, RUU Cipta Kerja adalah bentuk kemunduran jauh dari political will pemerintah saat ini, yang sebelumnya telah berjanji menjalankan reforma agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat kecil.
Apa yang kemudian sedang dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah itu saat ini, dipandang hanya akan menciptakan ketimpangan penguasaan tanah yang semakin tajam antara yang kaya dan miskin, antara petani dengan perusahaan perkebunan dan tentu saja akan memperparah konflik agraria di Tanah Air.(*)