“Pandemi Pyralidae” ini, Telah Lama Menjangkit
3 min readUntuk kesekian kali, petani di Tongauna Utara kembali resah. Karung-karung berisi gabah kering tidak lagi setara dengan luasan sawah mereka. Jika Pandemi Covid 19 baru sekali ini jadi, “Pandemi Pyralidae” justru telah lama menjangkit dan masih menyelimuti setiap musim panen petani padi selama hampir sepuluh tahun terakhir. Karenanya, jumlah hasil panen petani padi dalam satu hektarnya itu sama sekali tidak mampu menutupi pengeluaran bahkan dalam hitung-hitungan modal tanamnya.
Ditengah efek mewabahnya Corona, petani ternyata telah lama menderita efek sosial-ekonomi atas keridakberdayaan mereka mengahadapi hama tanaman. Ulat-ulat penggerek batang yang istilah ilmiahnya adalah Pyralidae itu telah menjadi salah satu penyebab rusaknya batang padi. Kendati Pestisida Kimia telah menjadi solusi, pilihan terakhir petani untuk menambah porsi penyemprotannya justru mengakibatkan masalah menjadi semakin serius.
“Bagaimana mau tidak tambah pusing petani saat pandemi Corona begini, disini malah ada pandemi hama, coba lihat sana mas, itu gagal panen semua, mau panen tapi apanya yang mau dipanen, membusuk dan kering semua padinya, karena hama itu sudah menggerek duluan batangnya” keluh Sunarto salahsatu petani sambil menunjukkan lokasi-lokasi sawah yang gagal panen itu di SPA Tongauna Utara (25/05/2020)
Dia membenarkan, tentang penggunaan pestisida kimia oleh petani adalah yang paling umum dilakukan sebagai strategi terakhir melawan hama. Hanya saja, semakin banyak pertisida kimia justru semakin besar jumlah kematian predator yang selama ini menjadi musuh alami hama penggerek batang.
“Disini pestisida kimia itu sama dengan kopi. Orang kadang sakit kepala kalau tidak minum kopi. Sudah jadi kebutuhan wajib bagi petani istilahnya mas. Padahal kalau takarannya terlalu banyak bisa bikin semut-semut yang memakan telur-telur penggerek batang itu juga ikut mati, jadi malah bikin penggerek batang semakin berkembang” imbuhnya.
Massa telur penggerek batang kuning berbentuk cakram dan ditutupi bulu-bulu berwarna coklat terang dari abdomen betina. Setiap massa telur mengandung sekitar 100 telur. Penggerek batang adalah hama ulat dalam batang padi yang berwarna kuning dan putih.
Di Indonesia, serangan penggerek batang terluas dan nomor dua setelah tikus. Dalam 10 tahun terakhir serangan hama ini diperkirakan mencapai 85.000 hektar sawah di seluruh Indonesia dengan serangan mencapai 0,5-90 persen.
Seperti di Tongauna Utara, di Kecamatan Padangguni pengakuan warga petaninya juga seragam, hamanya didominasi oleh penggerek batang putih dan telah menjadi masalah lama yang sangat mengganggu bahkan sejak dari musim tanam. Akibatnya, Kontribusi persoalan ini terhadap laju penurunan produktifitas petani pun bahkan hingga mencapai angka 60 persen lebih.
“Kebanyakan disini sawahnya diserang hama, iya busuk leher dan penggerek batang itu, ini bs dilihat sendiri sampai disana itu gagal panen. Saya satu hentar itu hanya 20 karung padahal kalau normalnya bisa 50-60 karung, malah ada yang hanya 17 karung dari luasan sawah satu setengah hektar” kata Wardiman, salahsatu tokoh petani di Desa Padang Mekar, Kecamatan Padangguni yang ditemui Suara Pinggiran kemarin (25/05/2020).
Pemanfaatan pestisida non-organik alias kimiawi itu juga menurutnya menjadi faktor penyebab hama penggerek batang justru semakin kebal dan berkembang. Meski harganya semakin melambung, petani tetap menyemprotkan racun itu dengan alasan-alasan yang umum. Mudah dan cepat.
Lebih jauh menurutnya, di hampir seluruh area persawahan dan perkebunan yang ada di Padangguni, kandungan unsur hara dari tanahnya bahkan hanya tersisa di bawah 20 persen saja akibat penggunaan pestisida dalam jangka waktu yang lama dan dinilai berlebihan itu. Sementara, untuk mendapatkan kualitas tanah yang kembali normal dengan hasil panen diatas 80 persen, dibutuhkan penyuburan tanah melalui pemanfaatan pestisida organik selama minimal empat kali musim panen.(*)