Ini Sebaran Konfliknya ; Janji Bupati Konsel tinggal Janji?
4 min readSudah sejak lama, persoalan penguasaan dan kepemilikan tanah telah menetaskan banyak konflik di berbagai daerah. Tidak terkecuali Kabupatem Konawe Selatan.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sultra, yang menjadi korban akibat konflik agraria di daerah itu hingga akhir tahun ini adalah sekitar 3.000 rumah tangga petani, dengan luas lahan hampir mencapai 7.000 hektar dan tersebar di sejumlah kecamatan. Data ini diperoleh KPA melalui investigasi langsung ke lapangan, pemberitaan media serta laporan langsung dari warga.
Sebaran kasus tersebut terdapat di beberapa kecamatan diantaranya :
Kecamatan Laonti : konflik agraria di Desa Tue-Tue antara warga vs perusahaan pertambangan, konflik agraria di desa Matobondu antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan.
Kecamatan Moramo : konflik agraria di Pudaria Jaya antara warga vs PT Tiran, desa Watuporambaa antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, Desa Bakutaru antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, desa Margacinta antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, desa Panambea antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, UPT Amohola I antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, UPT Amohola II antara warga vs PT Tiran dan kawasan hutan, konversi lahan tambak dan sawah untuk pembangunan pertambangan di desa Lakome dan Landipo
Kecamatan Kolono : konflik agraria dan ketiadaan lahan usaha II warga transmigrasi UPT Roda serta konflik agraria menahun antara masyarakat vs PT Tiran yang terseber di beberapa desa.
Kecamatan Palangga : konflik agraria di UPT Tolihe antara warga vs PT Tiran dan masalah ketiaadaan lahan usaha I dan lahan usaha II bagi warga transmigrasi.
Kecamatan Landono : konflik agraria di UPT Arongo antara warga transmigrasi vs PT Merbau Indah Raya Grup dan ketiadaan lahan usaha II.
Kecamatan Ranomeeto Barat : Blok I desa Laikandonga antara warga dan PT Merbau Indah Raya Grup dan ketiadaan lahan usaha II warga transmigrasi.
Kecamatan Mowila : konflik agraria warga Desa Rakawuta vs PT Merbau Indah Raya Grup serta beberapa desa lainya.
Kecamatan Lainea : Warga desa Lalonggombu vs HGU Perusahaan Kapas.
Kecamatan wolasi : masih banyaknya desa yang berada dalam status kawasan hutan.
Kecamatan Sabulakoa : konflik agraria antara warga vs perusahaan perkebunan swasta yeng tersebar di beberapa desa. kecamatan Angata: konflik agraria antara warga vs beberapa perusahaan perkebunan swasta.
Kecamatan Tinanggea : warga vs perusahaan pertambangan. Serta konversi lahan pertanian pangan menjadi area pembangunan properti seperti yang terjadi di kecamatan Ranomeeto.
Berbagai upaya dalam mendorong penyelesaian konflik agraria ini sudah dilakukan KPA Sultra bersama masyarakat yang tergabung dalam Serikat Tani Konawe Selatan (STKS).
Torop Rudendi, Kordinator KPA Wilayah Sultra kepada suarapinggiran.online (12/11) mengakui bahwa cara-cara normatif dan prosedural telah ditempuh dengan melaporkan langsung ke Bupati Konawe Selatan, DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, Kapolres Konawe Selatan, serta beberapa instansi terkait seperti ATR/BPN, Dinas Kehutanan dan Dinas Tansmigrasi. Bahkan, laporan terkait konflik atas tanah itu juga disampaikan pada pemerintahan pusat.
Meski demikian, upaya tersebut rupanya hingga hari ini belum mendapat respon serius dari pemerintah daerah khususnya Bupati Konawe Selatan. Padahal kasus tersebut telah berulangkali diaspirasikan kepada Bupati sejak tahun 2016 ; saat kunjungan komisi II DPR RI di kecamatan Landono, kunjungan ke dua DPR RI di rujab bupati pada bulan juli 2016, serta pada moment aksi Hari Tani Nasional 2017 di Kantor Bupati Konawe Selatan.
Dalam aksi Hari Tani Nasional itu, bupati meminta waktu tiga bulan kepada warga untuk menyelesaikan konflik agraria terhitung sejak bulan Oktober 2017. Janji yang sama juga disampaikan bupati pada mei 2016 saat kunjungan komisi II DPR RI di kecamatan Landono.
Lagi-lagi janji tinggal janji, karena dalam perkembangannya kami belum melihat upaya serius Bupati Konawe Selatan dalam merealisasikan janjinya.
Keluh Kordinator KPA Sultra, Torop Rudendi
Konflik agraria pun semakin hari semakin bertumpuk sampai pada titik akhir masa jabatan Bupati Konawe Selatan itu, warga seperti yang dipertegas Torop lagi-lagi kehilangan harapan.
Padahal, Jika dilihat dari aspek kebijakan dan regulasi, saat ini peluang penyelesaaian konflik agraria sudah terbuka lebar. Dalam NAWACITA Joko Widodo, Presiden RI telah mengagendakan pelaksanaan Reforma Agraria yang diproyeksikan ke dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta hektar sebagai program prioritas nasional dengan lima komponen kegiatan sebagai berikut :
1). Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria,
2) Penataan, penguasaan, dan pemilikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),
3) Kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah objek reforma agraria,
4) Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi atas Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dan
5) Kelembagaan pelaksanaan reforma agraria pusat dan daerah.
Dalam kerangka percepatan pelaksanaan reforma agraria, presiden Joko Widodo juga membuat regulasi berupa Perpres 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan dan Perpres 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.
Seharunya peluang ini ditangkap oleh bupati Konawe Selatan dan diimplementasikan dalam konteks daerah.
Tegasnya lagi
Torop melanjutkan, mandat Perpres 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria sudah sangat jelas. Bupati Konawe Selatan mestinya telah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang melibatkan semua institusi yang memiliki keterkaitan dengan persoalan agraria termasuk melibatkan keterwakilan organisasi masyarakat sipil seperti serikat tani. GTRA ini dipimpin langsung bupati dan menjadi tim kerja yang tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, keseteraan, hak asasi manusia, keberlanjutan ekologis, dan partisipatif dalam mewujudkan tatanan agraria yang lebih berkeadilan. (*)