Transmigrasi di Pohorua Muna, Pemerataan atau Pemiskinan?
3 min readProgram Transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Jawa masih jadi daya tarik sebagian warga masyarakat untuk mengubah nasib. Ketersediaan lahan dan minimnya lapangan pekerjaaan menjadi salah satu sebabnya. Terlebih lagi, cerita sukses para transmigran sebelumnya membuat warga lain termotivasi untuk turut serta berpindah domisili.
Karena alasan itu pula, sebanyak 50 KK asal Kabupaten Sampang, 10 KK dari Provinsi Jawa Timur dan 40 KK dari Provinsi Jawa Barat, ikut dalam program transmigrasi itu di tahun 2015 lalu. Mereka kemudian ditempatkan di UPT Pohorua Kec. Maligano Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tidak hanya itu, di tahun 2016 program itu berhasil mendatangkan warga ditahap ke dua sebanyak 10 KK asal Kabupaten Sampang dan 15 Kk asal Kabupaten Karawang Jawa Barat, termasuk penempatan Transmigrasi warga lokal (TPS) sebanyak 75 KK.
Persoalan pemerataan juga menjadi salah satu latar belakang program ini mesti dilakukan. Pemindahan jutaan orang Indonesia dari pulau Jawa, Bali, dan Madura yang padat ke pulau-pulau luar yang penduduknya sedikit itu pun menjadi rutin demi menciptakan kepadatan penduduk yang seimbang.
Konon, program transmigrasi ini pula akan mengentaskan kemiskinan dengan memberikan lahan dan kesempatan baru bagi para pendatang miskin dengan memanfaatan sumber daya alam di pulau-pulau yang kurang padat penduduk itu.
Tetapi tidak jarang, kenyataan mengatakan lain. Perpindahan penduduk justru bisa menjadi perpindahan problem kemiskinan. Lahan yang seharusnya menjadi hak dan diberikan sepenuhnya kepada warga transmigran sebagai sumber penghidupan itu terkadang menjadi soal lantaran hak atas tanah pengelolaan itu tidak sepenuhnya diberikan, jika tidak lahan tersebut malah sama sekali tidak ada.
Demikian yang terjadi di UPT Pohorua Kecamatan Maligano Kabupaten Muna. Lahan untuk membuka usaha pertanian yang mereka yakini bakal merubah nasib mereka menjadi lebih baik itu, justru jadi polemik baru ditengah belenggu kemiskinan yang telah lama menggerogoti.
Permasalahan lahan di UPT. Pohoroa itu disinyalir akibat kelalain Dinas Transmigrasi Kabupaten Muna yang tidak tuntas dalam persoalan pemberikan hak yang sama terkait pemberian lahan antara warga transmigrasi asal dan transmigrasi lokal.
“coba kalau warga lokal juga diberikan hak atas lahannya pasti warga lokal pun tidak akan berani mengklaim lahan yang sudah di garap oleh warga transmigrasi asal” Ujar Niang Setiaganda (47) transmigran asal Karawang Jawa Barat kepada suarapinggiran.online beberapa waktu lalu (12/10)
Berdasarkan penjelasannya, batas-batas lahan pun tidak memiliki kejelasan. Hal itu terlihat dalam proses pembagian lahan usaha I (satu) dimana patok batas hanya terdapat dibagian depan lahan, dengan batas kebelakang yang sama sekali tidak diketahui titiknya.
Padahal, UPT. Pohurua yang luasnya 661 Ha dengan jumlah warga 150 KK ini telah berusia 4 tahun sejak penempatan, dan mendekati proses pelepasan pembinaan transmigrasi untuk di serahkan kepada Pemda setempat. Tetapi, hak atas tanah belum juga mampu terselesaikan.
Buntutnya, kisruh antar warga transmigrasi asal dengan transmigrasi lokal tidak bisa dihindari. Bahkan tindak dugaan penyerobotan lahan, telah dilaporkan kepada pihak kepolisian setempat. Samarudi alias La Sama (48) warga transmigrasi lokal adalah yang menjadi korbannya. Anehnya, ia justru dilaporkan oleh pihak Dinas Transmigrasi Kabupaten Muna sendiri lantaran dituding menyerobot lahan warga transmigrasi asal. Padahal, saat pembagian jatah hidup, pihaknya juga mendapatkan hak yang sama. Ketika kembali ke persoalan lahan, La Sama justru merasa tidak diberikan haknya.
“itu bukan suatu penyerobotan lahan karena kami pun sama statusnya warga transmigrasi yang seharusnya sama haknya dengan warga yang dari jawa. Karena waktu masih ada pembagian jaminan hidup selama satu tahun itu kami pun sama ikut kebagian tapi kenapa sementara pas pembagian lahan usaha, kami warga lokal tidak dibagikan lahan oleh Dinas” keluhnya. (*)
Laporan : Didi Hardiana (Jurnalis SUPI)